Selasa, 26 Januari 2010

TNI pasca soeharto: orde penebusan dosa?

TNI PASCA SOEHARTO
Orde Penebusan Dosa?

Kisah “manis” yang panjang dari rezim otoriter Orde Baru selama lebih dari 32 tahun berakhir dengan tragis. Kepemimpinan Sang Jenderal Soeharto dengan dukungan militer (khususnya Angkatan Darat), akhirnya takluk dan di’lengser keprabon’kan oleh kekuatan gerakan massa (rakyat) yang berbasis pada gerakan mahasiswa. Ini dimungkinkan oleh banyak faktor, antara lain di masa-masa penghujung kekuasaannya Soeharto telah semakin kehilangan legitimasi akibat banyaknya kebijakan yang tidak populer dan hanya menguntungkan kepentingan kekuasaan dan kroninya. Atau mungkin juga karena terlalu lama berkuasa, sehingga ia (dengan dukungan militer) tidak lagi peka dalam menyikapi perkembangan global yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan -(seperti yang dikatakan oleh Francis Fukuyama bahwa memasuki abad ke-21, rezim-rezim otoriter akan jatuh dan digantikan oleh pemerintahan yang demokratis). Hal ini diakui sendiri oleh sebagian dari kalangan militer, bahwa pemerintahan Orde Baru telah gagal dalam mengantisipasi trend kecenderungan global yang utamanya adalah arus demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Sementara itu, selama pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik negara sangatlah dominan. Kondisi ini tak lepas dari wacana politik Orde Baru yang merangkai doktrin Dwifungsi ABRI (sekarang dikembalikan menjadi TNI) sebagai sebuah idiologi sekaligus konstruksi sosial. Artinya, tentara tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, melainkan juga berwenang terlibat dalam kehidupan sosial politik. Dwifungsi ABRI diartikan sebagai fungsi-fungsi ABRI -yang bersifat genuine dan intrinsik- untuk kekuatan pertahanan-keamanan dan kekuatan sosial dalam rangka perjuangan nasional dalam mencapai tujuan nasional. Secara konseptual maupun praktis-politis, Dwifungsi dimaksudkan sebagai “kontra-posisi” atas idiologi “supremasi sipil” (civil supremacy) yang menempatkan militer hanya sebagai alat negara di bawah kendali sipil.
Menurut K. Man Haim, ada tiga faktor yang mendorong militer ‘terjerumus’ dalam perpolitikan. Pertama kepentingan individu, yaitu ambisi-ambisi pribadi para perwira militer untuk merebut posisi penting (strategis) dalam jaringan kekuasaan dan keinginan memperoleh materi sebagai konsekuensi jabatan tersebut. Kedua kepentingan kelompok, yakni keinginan untuk mendominasi dan mengalienasi kelompok lain melalui jalur kekuasaan. Berkaitan dengan status mereka sebagai kelompok elite (sesuai konsep satria), militer harus merebut kekuasaan untuk memenuhi standar hidup dan selanjutnya secara sistematis membangun hegemoni. Dan ketiga adalah kepentingan nasional, yakni mempertahankan dan membangun keamanan negara dan masyarakat. Dengan asumsi bahwa mereka adalah kekuatan pengintegrasi bangsa, militer berhak melakukan intervensi dan pemaksaan (dengan kekerasan bahkan pembunuhan) untuk melindungi kepentingan serta keutuhan bangsa dan negara. Kemudian muncul satu pemikiran lain, bahwa norma-norma profesionalitas militer dianggap lebih tinggi dan mampu (dari segi kepemimpinan nasional) dibandingkan “orang-orang sipil yang korup”.
Dalam merebut dan mengelola kekuasaan, ada dua cara yang dilakukan oleh militer. Pertama dengan berperan langsung (direct roles), yaitu militer secara langsung mempengaruhi pengambilan kebijakan melalui keterlibatannya dalam birokrasi, politik dan partai politik. Artinya, militer mengambil alih pucuk pimpinan dan jabatan penting dalam kabinet atau mengangkat pejabat sipil yang lemah dan koorporatif, kemudian melakukan penyeragaman nilai-nilai idiologi dan terlibat dalam pendirian partai politik (baca: Golkar) sekaligus menjadi pemimpin partai tersebut yang kemudian memaksakan rumusan gagasan-gagasan pembangunan. Selain itu, militer juga masuk ke wilayah hukum, perwakilan rakyat dan membangun jaringan bisnis nasional yang dikuasai oleh keluarga dan kroninya.
Kedua, berperan tidak langsung (indirect roles), yakni militer tidak terlibat dalam struktur pengambil kebijakan, melainkan secara aktif mempengaruhi pengambilan kebijakan tersebut melalui pers maupun dialog dengan partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan. Yaitu dengan mengatur dan sekaligus mengawasi pelaksanaan undang-undang pers (sensor intelektual), militer (bersama pemerintah) juga aktif membungkam semua aspirasi partai politik maupun organisasi sosial (dari kemungkinan lahirnya “people power”) untuk melindungi kepentingan penguasa.
Adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa pada masa penguasaan Orde Baru, militer berhasil (ikut?) “membangun” Indonesia. Ini terlihat pada beberapa hal, di antaranya: (1) perkembangan dalam bidang ekonomi, yaitu terjadinya lonjakan income perkapita (peningkatan daya beli masyarakat) dari sekitar US$ 125 menjadi US$ 1.000 sebelum Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1997 (atau terjadi penurunan angka kemiskinan). (2) Dalam bidang kesehatan, yakni menurunnya angka kematian bayi dan angka harapan hidup meningkat; tersedianya puskesmas di setiap kecamatan dan fasilitas klinik di setiap desa. (3) Dalam bidang pendidikan, yaitu setiapdesa telah memiliki SD (bahkan ada desa yang sudah memiliki SMP) dan hampir setiap kecamatan memiliki SMA, dan semua propinsi telah memiliki perguruan tinggi. Dan (4) Dalam bidang stabilitas negara, walaupun terjadi “gangguan” di beberapa daerah seperti Timor Timur, Papua, Maluku dan Aceh.
Namun sebaliknya, keberhasilan tersebut tidak disertai dengan pembangunan demokrasi, penghormatan dan penegakan HAM, konservasi lingkungan hidup dan pengentasan KKN, bahkan malah mempertajam jurang pemisah dalam masyarakat (seperti yang miskin dengan yang kaya). Hal inilah yang kemudian menjadi masalah ketika lahir dan berkembangnya kesadaran bangsa Indonesia, (khususnya umat Islam) yang lebih dari 25 tahun menjadi korban kekerasan dan ketertindasan.
Seiring dengan hal tersebut, di tubuh militer sendiri terjadi pembusukan dari dalam, pertama karena kesibukan para elite militer mengurus masalah politik dan bisnis untuk menumpuk harta, dan kedua karena masuknya spirit Islam ke dalam militer yang melahirkan faksi Hijau (seperti Feisal Tanjung, R. Hartono, Prabowo, Kiflan Zein, Subagio HS, Muchdi PR, Syafri Syamsuddin dll.). Dan sebagai reaksi, lahir pula faksi Merah Putih yang berbasis sosial dan Kristen di bawah bendera L.B. Moerdani.
Di tengah situasi yang tidak mendukung tersebut, keberadaan militer yang sudah keropos semakin terjepit. Terlebih setelah Soeharto membaca pidato kenegaraan terakhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pk. 09.00 yang menyatakan bahwa ia me”lengser keprabon”kan diri dari jabatan presiden. Militer kehilangan patron namun berupaya mempertahan status quo di tengah hujatan dan kebencian masyarakat (nasional maupun internasional).
Kondisi ini membuka ruang bagi perjuangan demokrasi. Masyarakat mulai berani untuk menuntut pengungkapan dan penyelesaian secara hukum pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh militer. Militer menjadi semakin terpojok dan harus memulai babak baru (setelah dihapuskannya Dwifungsi) dalam proses pencarian jati diri tanpa tempat bergantung. Tak ada pilihan lain kecuali mereka harus melakukan reposisi, redefinisi dan reaktualisasi peran dalam konteks reformasi menuju negara yang demokratis. Artinya, setelah menikmati kejayaannya lebih dari 20 tahun, militer harus mengakui dan tunduk kepada kedaulatan pemerintahan sipil.
Perubahan besar yang terjadi pada tatanan dan struktur kemasyarakatan serta kenegaraan juga berimbas pada TNI. Inilah yang dilakukan oleh Menteri Pertahanan dan keamanan (Menhankam) dan Panglima TNI (waktu itu) Jenderal Wiranto, yaitu dengan mengeluarkan tiga komponen kebijakan. Pertama, memisahkan Kepolisian (Polri) dari organisasi TNI dan ditempatkan sebagai alat keamanan (sipil). Kedua, TNI ditempatkan sebagai alat pertahanan, dan ketiga, anggota TNI yang aktif tidak diperbolehkan menduduki jabatan politik, kecuali pensiun dari kedinasan militernya.
Jadi, untuk memotret masa depan TNI dalam hubungannya dengan kekuasaan sipil, paling tidak dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, pertarungan elite politik sipil – militer sebagai penentu posisi TNI. Maksudnya adalah TNI dituntut untuk bisa bersikap profesional dan proposional dalam menyikapi situasi dan kondisi serta perubahan kehidupan sosial dan politik negara. Kedua, pembentukan format organisasi TNI dari struktural ke fungsional. Artinya, TNI harus merumuskan implementasi struktur organisasi yang tidak hierarkis dan didasarkan pada perimbangan kebutuhan TNI dan strategi keamanan. Dan ketiga, digantikannya Dwifungsi menjadi doktrin pertahanan. Artinya, TNI harus kembali kepada tugas pokoknya sebagai alat pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan sosial, politik dan ekonomi. Untuk itu perlu dilakukan perubahan UU Pertahanan Keamanan menjadi UU Bela Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar