Senin, 25 Januari 2010

life is beaitiful

Dalam film “Life is Beautiful” beberapa yang bisa disebut sebagai kehidupan yang indah:
a. Pertemanan “si aktor” dengan temannya dari kampung, yang sama-sama merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Kehidupan mereka yang seolah tanpa beban, tidak ngoyo dan apa adanya, penuh keceriaan dan saling berbagi rasa. Walaupun kadang kala ia “ngerjain”, “njengkelin” dan “manfaatin” temannya, namun karena mereka sudah saling kenal dan saling memahami satu sama lain, hal tersebut tidak menimbulkan masalah (yang berarti).
b. Percintaan “si aktor” dengan “sang puteri”. Situasi-situasi “kebetulan” yang bermula sejak awal ia bertemu “putri” yang berlanjut dengan kebetulan-kebetulan lainnya hingga akhirnya mereka menjalin kehidupan rumah tangga yang bahagia. Ini menunjukkan seolah-olah setiap keinginannya bisa ia wujudkan. Sepertinya “jampi-jampi” yang diajarkan oleh temannya memiliki khasiat dalam kehidupannya.
c. Kehidupan keluarga “si aktor” dengan istri dan anak laki-laki mereka yang bahagia dan langgeng, yang didasari oleh saling cinta dan kasih-sayang mereka berdua yang dicurahkan kepada anak semata wayangnya. Istrinya yang guru menjalankan tugasnya sebagai guru yang baik. Ia sendiri, setelah tidak bekerja lagi sebagai pelayan di restoran, membuka toko buku (kecil-kecilan) yang diidam-idamkannya sejak kedatangannya di kota tersebut. Situasi tersebut terganggu ketika di hari ulang tahun anaknya, mereka ditangkap oleh pasukan Nazi dan dibawa ke kamp tahanan Yahudi. Istrinya yang setia kemudian menyusul dan dengan rela ikut suami dan anaknya menjadi tahanan.
d. Pengorbanannya. Karena kecintaannya yang sangat besar kepada anak dan istrinya, ia rela melakukan apa saja (dengan tulus) demi keamanan, ketenangan dan kebaikan anak dan istrinya dalam situasi-situasi yang sulit selama mereka dalam kamp tahanan Nazi. Ia terpaksa berbohong kepada anaknya dengan janji-janji yang menghibur, supaya anaknya merasa aman dan tidak merasa takut menghadapi situasi tersebut. Ia sendiri akhirnya tewas ditembak tentara Nazi ketika akan menyelamatkan istrinya. Isterinya sendiri rela ikut menjadi tawanan mengikuti demi suami dan anaknya. Sementara anaknya sendiri rela untuk “dihibur” (baca: dibohongi) oleh sang ayah.

Salah satu kehidupan yang indah dalam film tersebut (dari sudut pandang Aristoteles) adalah kehidupan keluarga “si aktor” yang penuh dengan cinta, kasih sayang dan pengorbanan untuk kebahagiaan dan kebaikan mereka. Istrinya yang sudah dilamar orang (pacarnya yang kaya) berkorban demi “cinta pada pandangan pertamanya” pada “si aktor”. “Si aktor” melakukan apapun untuk bisa mendapatkan “putri”nya untuk bisa dinikahinya. Pernikahan mereka yang bahagia semakin bertambah ketika anak mereka lahir. Kalau dihubungkan dengan tiga konsep Aristoteles, sepertinya kehidupan mereka lebih banyak mengarah pada yang “good”, dan ini yang sekiranya merupakan kehidupan yang ideal.

Strereotif yang paling memomokkan bagi Yahudi (sebagai musuh) adalah “Yahudi adalah binatang”. Yahudi dipandang sebagai makhluk yang menjijikkan sebagaimana binatang, dan tidak pantas hidup layaknya manusia. Mereka juga selalu dipandang sebagai musuh bagi semua orang dan harus diperlakukan bukan sebagai teman. Contohnya, (dalam film) ketika kedatangan “si aktor” dengan temannya di rumah pamannya, pamannya habis diganggu oleh orang-orang yang anti-Yahudi, yang disebut oleh pamannya sebagai barbar yang tak tahu rasa hormat dan suka berlaku sewenang-wenang. Lalu, ketika permohonan kredit banknya untuk modal usaha toko buku yang ditolak. Demikian pula ketika pesta pertunangan “puteri”nya, kuda pamannya dicat warna hijau dan ditulisi “kuda Yahudi” oleh kelompok barbar. Kemudian tulisan-tulisan anti-Yahudi di toko-toko “anjing dan Yahudi dilarang masuk” yang dipertanyakan oleh anaknya. Dan puncaknya, yang ia rasakan secara langsung, ketika mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam kamp Nazi untuk tahanan orang-orang Yahudi.

3 tantangan penting kehidupan yang etis dalam film tersebut (dalam pandangan Paul Ricoeur):
a. Cinta. Cinta pada pandangan pertama telah membuat “si aktor” terobsesi dengan “sang puteri”nya. Situasi-situasi “kebetulan” mampu dimanfaatkan oleh “si aktor” untuk mewujudkan keinginannya, yaitu mendapatkan “sang putri” yang diimpikannya.
b. Pengorbanan. Situasi dimana “si aktor” terpaksa berbohong (demi kebaikan) dan rela mengorbankan dirinya, dengan maksud agar anaknya bisa tegar, tidak merasa takut, dan aman dari ke’beringas’an tentara Nazi.
c. Stereotif anti-Yahudi (yang diasumsikan dengan pembantaian terhadap orang Yahudi). Situasi yang dirasakan dan diterima “si aktor” sejak kedatangannya pertama kali ke kota tersebut. Pertama, pamannya diganggu oleh kelompok anti-Yahudi, kedua, saat kuda pamannya dicat dan ditulisi kata-kata rasial, ketiga, setiap ia harus memberikan penjelasan yang bijak pada anaknya atas tulisan-tulisan yang bernada rasial di toko-toko, dan terakhir ketika ia dan keluarganya berada dalam kamp tahanan Nazi, yang akhirnya hanya anak dan isterinya yang selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar