MERAJUT ASA DALAM ISAK TANGIS: menuju babakan baru
bagian satu
what?
Pelaksanaan berbagai seminar tentang lingkungan, dalam hal ini yang disoroti adalah Seminar Nasional “Optimalisasi Sumber Daya Alam untuk Membangun Bangka Belitung Menuju Masyarakat Damai dan Sejahtera” pada tanggal 16 Oktober 2008 lalu, mengungkap dan meninggalkan berbagai hal menarik yang perlu dan penting untuk dikritisi bersama. Sayangnya, setelah setahun berlalu, belum terlihat adanya aksi konkret dari rekomendasi yang telah dirumuskan.
why?
Pertama, seminar yang menghadirkan banyak pihak dari berbagai wilayah, lembaga, dan kepentingan ini ternyata belum (baca: tidak) mampu meletakkan pondasi optimalisasi berupa solusi konstruktif yang kongkrit atas isu yang diangkat sebagai tema. Sayangnya, dari 6 pembahasan, hampir tidak terlihat benang merah dari masing-masing materi. Bahasan materi sebagian besar (untuk tidak mengatakan ‘hampir’ semua) masih berada di ‘awang-awang’, terlalu umum (global), dan di luar jangkauan permasalahan lokal, sehingga belum mampu memberikan ‘solusi konstruktif yang kongkrit’. Demikian pula dengan narasumber yang kelihatannya masih sangat enjoy dengan persepsi masing-masing. Beberapa lainnya bahkan asyik bermain dalam ‘apologetik’ (pembelaan diri), menghindar dari persoalan, dan berindikasi pada ‘rekayasa data’ (yang dikuatirkan berakhir pada ‘pembohongan publik’). Kondisi ini kemudian berdampak pada respon peserta yang sebagian besar (untuk tidak terlalu men-judge jika disebut semua) terpancing untuk reaktif, sehingga hanya (mampu) melontarkan pertanyaan ataupun pernyataan yang bernuansa ‘menuntut’ dan kontraproduktif. Inilah yang diselorohkan Cak Nun dengan“Ada orang mengeritik, tetapi tak bisa memberi jalan keluar. Ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengeritik”.
Kedua, dari situasi tersebut tergambar bagaimana masing-masing pihak (para pemangku kepentingan/stakeholders) telah menegasikan satu hal mendasar yakni ‘hak dan tanggung jawab bersama’ atas kondisi yang telah dan akan dialami oleh Bangka Belitung. Bangka Belitung bukan milik siapa-siapa dan yang berhak menikmati kekayaan sumberdaya alam Bangka Belitung bukanlah kelompok atau golongan tertentu. Bangka Belitung adalah milik semua masyarakat Bangka Belitung. Demikian pula yang harus bertanggung jawab atas pengelolaannya. Kebersamaan inilah yang diperlukan untuk satu tujuan, yakni mencapai kedamaian dan kesejahteraan bersama melalui peran dan kapasitas masing-masing. “Orang berniat memberi, jangan dimintai. Karena kalau memberi karena diminta apa hebatnya, tetapi kalau tidak diminta tetap memberi, itu baru nikmat.” (Cak Nun).
Ketiga, pelaksanaan seminar yang tidak berangkat dari sebuah perencanaan strategis yang komprehensif, sehingga berdampak pada kedua hal di atas. Dalam perencanaan seharusnya dikaji terlebih dahulu: (1) berbagai pengalaman dari seminar-seminar yang pernah dilakukan, terutama pada out-put dan out-come seminar, apalagi untuk sebuah seminar yang ‘besar’. “Inilah pesan Tuk-Bayan-Tula untuk kalian berdua, kalau ingin lulus ujian: buka buku, belajar!!” (Laskar Pelangi, h. 424) sepertinya punya makna yang kuat untuk diterjemahkan dalam konteks ini; (2) substansi materi (pokok bahasan dan narasumber): apakah sinergis antara yang satu dengan yang lain, apakah hanya bergulat dengan wacana atau pemaparan kondisi faktual untuk disikapi bersama, sehingga mampu mengarahkan forum pada pemunculan solusi-solusi yang konstruktif, kongkrit, dan bertanggung jawab. “… and to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction … .” (Isaac Newton, 1643 – 1727 dalam Laskar Pelangi); (3) [jika boleh usul, untuk pertimbangan ke depan] sebelum pelaksanaan seminar-seminar atau kegiatan-kegiatan serupa dengan tujuan ‘mulia’ tersebut, (mungkin) idealnya, jika para stake-holder (pemangku kepentingan) ‘duduk dalam satu meja’ terlebih dahulu dalam diskusi-diskusi intensif (focus group discussion) guna menjalin silaturrahmi, menumbuhkan kepercayaan, saling ‘curhat’, menyamakan persepsi, tujuan, dan strategi, untuk kemudian bersama-sama mem-break-down isu pokok, berbagi peran, dan merumuskan berbagai langkah alternatif yang strategis dan taktis untuk bisa sampai pada hakikat tema yang diangkat maupun hasil yang diharapkan. Hasil diskusi intensif inilah yang nantinya menjadi bahasan dalam seminar. Dengan demikian, tidak hanya output tapi juga outcomes yang dihasilkan bisa benar-benar optimal karena keberadaan peserta maupun ahli yang diundang akan semakin memperkaya pemikiran kritis dan solusi konstruktif yang lebih kongkrit.
bagian satu
what?
Pelaksanaan berbagai seminar tentang lingkungan, dalam hal ini yang disoroti adalah Seminar Nasional “Optimalisasi Sumber Daya Alam untuk Membangun Bangka Belitung Menuju Masyarakat Damai dan Sejahtera” pada tanggal 16 Oktober 2008 lalu, mengungkap dan meninggalkan berbagai hal menarik yang perlu dan penting untuk dikritisi bersama. Sayangnya, setelah setahun berlalu, belum terlihat adanya aksi konkret dari rekomendasi yang telah dirumuskan.
why?
Pertama, seminar yang menghadirkan banyak pihak dari berbagai wilayah, lembaga, dan kepentingan ini ternyata belum (baca: tidak) mampu meletakkan pondasi optimalisasi berupa solusi konstruktif yang kongkrit atas isu yang diangkat sebagai tema. Sayangnya, dari 6 pembahasan, hampir tidak terlihat benang merah dari masing-masing materi. Bahasan materi sebagian besar (untuk tidak mengatakan ‘hampir’ semua) masih berada di ‘awang-awang’, terlalu umum (global), dan di luar jangkauan permasalahan lokal, sehingga belum mampu memberikan ‘solusi konstruktif yang kongkrit’. Demikian pula dengan narasumber yang kelihatannya masih sangat enjoy dengan persepsi masing-masing. Beberapa lainnya bahkan asyik bermain dalam ‘apologetik’ (pembelaan diri), menghindar dari persoalan, dan berindikasi pada ‘rekayasa data’ (yang dikuatirkan berakhir pada ‘pembohongan publik’). Kondisi ini kemudian berdampak pada respon peserta yang sebagian besar (untuk tidak terlalu men-judge jika disebut semua) terpancing untuk reaktif, sehingga hanya (mampu) melontarkan pertanyaan ataupun pernyataan yang bernuansa ‘menuntut’ dan kontraproduktif. Inilah yang diselorohkan Cak Nun dengan“Ada orang mengeritik, tetapi tak bisa memberi jalan keluar. Ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengeritik”.
Kedua, dari situasi tersebut tergambar bagaimana masing-masing pihak (para pemangku kepentingan/stakeholders) telah menegasikan satu hal mendasar yakni ‘hak dan tanggung jawab bersama’ atas kondisi yang telah dan akan dialami oleh Bangka Belitung. Bangka Belitung bukan milik siapa-siapa dan yang berhak menikmati kekayaan sumberdaya alam Bangka Belitung bukanlah kelompok atau golongan tertentu. Bangka Belitung adalah milik semua masyarakat Bangka Belitung. Demikian pula yang harus bertanggung jawab atas pengelolaannya. Kebersamaan inilah yang diperlukan untuk satu tujuan, yakni mencapai kedamaian dan kesejahteraan bersama melalui peran dan kapasitas masing-masing. “Orang berniat memberi, jangan dimintai. Karena kalau memberi karena diminta apa hebatnya, tetapi kalau tidak diminta tetap memberi, itu baru nikmat.” (Cak Nun).
Ketiga, pelaksanaan seminar yang tidak berangkat dari sebuah perencanaan strategis yang komprehensif, sehingga berdampak pada kedua hal di atas. Dalam perencanaan seharusnya dikaji terlebih dahulu: (1) berbagai pengalaman dari seminar-seminar yang pernah dilakukan, terutama pada out-put dan out-come seminar, apalagi untuk sebuah seminar yang ‘besar’. “Inilah pesan Tuk-Bayan-Tula untuk kalian berdua, kalau ingin lulus ujian: buka buku, belajar!!” (Laskar Pelangi, h. 424) sepertinya punya makna yang kuat untuk diterjemahkan dalam konteks ini; (2) substansi materi (pokok bahasan dan narasumber): apakah sinergis antara yang satu dengan yang lain, apakah hanya bergulat dengan wacana atau pemaparan kondisi faktual untuk disikapi bersama, sehingga mampu mengarahkan forum pada pemunculan solusi-solusi yang konstruktif, kongkrit, dan bertanggung jawab. “… and to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction … .” (Isaac Newton, 1643 – 1727 dalam Laskar Pelangi); (3) [jika boleh usul, untuk pertimbangan ke depan] sebelum pelaksanaan seminar-seminar atau kegiatan-kegiatan serupa dengan tujuan ‘mulia’ tersebut, (mungkin) idealnya, jika para stake-holder (pemangku kepentingan) ‘duduk dalam satu meja’ terlebih dahulu dalam diskusi-diskusi intensif (focus group discussion) guna menjalin silaturrahmi, menumbuhkan kepercayaan, saling ‘curhat’, menyamakan persepsi, tujuan, dan strategi, untuk kemudian bersama-sama mem-break-down isu pokok, berbagi peran, dan merumuskan berbagai langkah alternatif yang strategis dan taktis untuk bisa sampai pada hakikat tema yang diangkat maupun hasil yang diharapkan. Hasil diskusi intensif inilah yang nantinya menjadi bahasan dalam seminar. Dengan demikian, tidak hanya output tapi juga outcomes yang dihasilkan bisa benar-benar optimal karena keberadaan peserta maupun ahli yang diundang akan semakin memperkaya pemikiran kritis dan solusi konstruktif yang lebih kongkrit.
what next?
“Orang menegakkan kesombongan di atas kebodohan, mengibarkan keangkuhan di atas ketidakmengertian” (Cak Nun).
Bangka Belitung sudah menangis, jadi, janganlah kita buat semakin tersedu-sedan dan tenggelam dalam egoisme dan arogansi kita. Sudah tidak ada gunanya bagi kita untuk saling menyindir, saling mencela, atau saling menyalahkan. Tidak juga ada manfaatnya kita untuk saling mengandalkan, saling menunggu, dan saling berpangku tangan. Keadaan sudah kritis. Sudah waktunya untuk ‘membuka mata dan hati’ untuk berbuat secara nyata, bukan sekadar ‘basa-basi’. Masa depan Bangka Belitung ada di tangan kita semua, akan dibawa ke mana: maju atau mundur, baik atau buruk, sangat bergantung pada kebesaran hati kita untuk saling jujur dan terbuka, saling bersilaturrahmi, dan saling bersinergi karena kekurangan dan kelebihan melekat pada diri kita masing-masing sebagaimana hakikat manusia adalah tempat salah dan alpa, tempat segala kekurangan dan keterbatasan. Tidak perlu lagi ada yang ditutup-tutupi karena semuanya sudah menjadi rahasia publik bagaimana penyakit disfungsi dan orientasi menyimpang telah membuat kita ‘pendek akal dan tangan’ untuk sesuatu yang bernama kemashlahatan bersama. Inilah yang harus kita dobrak karena sudah sedemikian latennya.
Lepaskan egosektor, telanjangi diri kita masing-masing. “Siapakah kita?, Masih adakah ‘keinginan’ kita untuk ‘sekadar’ survive di ‘Negeri Sejuta Kolong’ ini? Menuju Bangka Belitung yang damai dan sejahtera tergantung di otak, hati, tangan, dan kaki kita semua. Karenanya, niat dan tindakan kita harus selaras, seirama, dan masing-masing stakeholder (eksekutif, legislatif,dan yudikatif daerah [provinsi dan kabupaten/kota]; swasta, organisasi sosial politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan seluruh lapisan masyarakat [tua, muda, laki-laki, perempuan]) bersinergi satu sama lain. Untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan adanya perubahan sikap dan perilaku, yang harus dimulai dari perubahan persepsi dan pemikiran dibarengi dengan kesadaran total bahwa pekerjaan ini harus dilakukan dalam perspektif multi-aktor, multisektor, dan multidimensi. Dengan demikian, ‘Insyaf politik dan sosial’ ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selanjutnya, perlu dilakukan ‘silaturrahmi politik dan sosial’ untuk menuju bingkai persepsi bersama. Sebab jika tidak, jangan menyalahkan siapapun jika Bangka Belitung terkena ‘step’ dan ‘kolaps’: ibarat seorang gadis muda, dirinya tidak lagi menampakkan kerupawanan dan cahaya keindahan raut wajahnya, melainkan menjelma menjadi ‘wajah seorang gadis muda yang kusam, kumal, penuh lubang bernanah’. Dan khusus untuk Bangka, belajarlah dari Belitung, yang kini hanya berserakan sisa-sisa berupa penderitaan. Tidak ada kata terlambat, dan terlambat lebih baik daripada tidak pernah melakukannya. “Satu titik dalam relativitas waktu: saat inilah masa depan.” (“Agnostik”, Laskar Pelangi).
bagian dua
what should we do?
“Jika kau berencana untuk satu tahun, sebarkan benih padi; Jika kau berencana untuk satu abad, Tanamlah pohon; Jika kau berencana untuk seumur hidup, Didiklah masyarakat.” --Peribahasa Cina
Ada empat konsep tindak lanjut yang (saat ini baru bisa) diajukan beberapa hal sehubungan dengan Optimalisasi Sumberdaya Alam untuk Membangun Bangka Belitung Menuju Masyarakat yang Damai dan Sejahtera, dan juga dalam ikut menyukseskan program-program pembangunan pemerintah, terutama “Babel Archi 2010” yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Empat konsep yang diharapkan menjadi alternatif solusi konkret ini berupa (1) analisis SWOT dan berbagi peran, (2) mapping kawasan: pemetaan potensi dan ancaman kawasan secara partisipatif, (3) implementasi dan pengembangan kawasan dalam perspektif one village-one product: pemanfaatan kawasan terutama lahan-lahan bekas tambang sebagai basis sentra ekonomi kerakyatan (produksi, agrowisata, wisata pendidikan, dan laboratorium alam), (4) refungsionalisasi dan penguatan otonomi desa (misalnya penyusunan Perdes sebagai benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi ‘perang kepentingan’ dan kebijakan yang tumpang-tindih). Namun dengan catatan, setelah ada jalinan silaturrahmi (networking) antarpemangku kepentingan (stakeholders) dalam satu kerangka kesadaran dan pemahaman bahwa Bangka Belitung adalah milik dan tanggung jawab bersama. Di sini, partisipasi aktif merupakan kata kunci.
Pertama, Kontekstualisasi fastabiqul khairat adalah kata kunci. Artinya, masing-masing pihak merupakan aktor-aktor utama yang memiliki hak dan tanggung jawab berdasarkan peran dan kapasitas masing-masing. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis SWOT secara jujur dan obyektif: apa saja kekuatan yang dimiliki dari diri kita masing-masing (Strenght), apa saja kelemahan (Weakness), peluang apa saja yang bisa dimanfaatkan (Opportunity), dan hambatan atau ancaman apa saja yang diperkirakan bisa menjadi batu sandungan (Threat). Dari hasil analisis inilah kita bisa sampai pada: siapa melakukan apa; bagaimana melakukan; dengan apa dan siapa; kapan, di mana, dan berapa lama; dan apa yang ingin dicapai.
Selanjutnya, coba tanyakan pada diri kita, apa yang bisa dilakukan atas peran dan kapasitas kita masing-masing. Yang menjadi kata kunci adalah ‘komitmen’ dan ‘konsistensi’ dalam menjunjung komitmen tersebut, dari semua pihak, sebab tanpa keduanya semua menjadi tidak berarti (seperti yang selama ini terjadi).
1. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) selaku eksekutif daerah bisa melakukan peran dalam konteks good governance, pengayom rakyat, yang dalam bahasa Cak Nun disebut sebagai yang “mengolah modal kekayaan Negara untuk kesejahteraan rakyat lahir batin”.
2. DPRD (prov. dan kab./kota) selaku wakil rakyat berperan dalam kapasitas sebagai penyambung lidah rakyat, terutama dalam perumusan dan penetapan kebijakan yang populis.
3. Lembaga peradilan (pengadilan dan kejaksaan) selaku pemegang otoritas yudikatif berperan dalam penegakan hukum secara adil, jujur, dan berdimensi HAM (Hukum tidak mengerti kecuali dirinya sendiri. Ia tidak mengakui segala sesuatu yang di luar dirinya, Cak Nun).
4. Kepolisian daerah (polda, polres, polsek) selaku pemegang otoritas bidang ketertiban, keamanan, dan penindakan/penegakan hukum mampu berperan sebagai pelindung/pengabdi/pengayom masyarakat sesuai dengan semboyan korps kepolisian. Misalnya, dengan mengembangkan secara intensif dan kontinyu konsep ‘polisi masyarakat’ secara tepat dan benar untuk menyiasati kendala luasan wilayah berbanding keterbatasan SDM. 5. Partai politik dan organisasi massa berperan dalam kapasitasnya sebagai wadah pembinaan masyarakat, terutama dalam bidang politik, secara kritis.
6. Lembaga swadaya masyarakat dan Perguruan Tinggi berperan dalam kapasitasnya sebagai agent of social change, pengusung misi pemandirian masyarakat menuju perubahan sosial yang demokratis. Untuk itu harus ada visi yang jelas sebab jika tidak hanya akan menjadi ‘kumpulan para pekerja sosial’.
Bangka Belitung sudah menangis, jadi, janganlah kita buat semakin tersedu-sedan dan tenggelam dalam egoisme dan arogansi kita. Sudah tidak ada gunanya bagi kita untuk saling menyindir, saling mencela, atau saling menyalahkan. Tidak juga ada manfaatnya kita untuk saling mengandalkan, saling menunggu, dan saling berpangku tangan. Keadaan sudah kritis. Sudah waktunya untuk ‘membuka mata dan hati’ untuk berbuat secara nyata, bukan sekadar ‘basa-basi’. Masa depan Bangka Belitung ada di tangan kita semua, akan dibawa ke mana: maju atau mundur, baik atau buruk, sangat bergantung pada kebesaran hati kita untuk saling jujur dan terbuka, saling bersilaturrahmi, dan saling bersinergi karena kekurangan dan kelebihan melekat pada diri kita masing-masing sebagaimana hakikat manusia adalah tempat salah dan alpa, tempat segala kekurangan dan keterbatasan. Tidak perlu lagi ada yang ditutup-tutupi karena semuanya sudah menjadi rahasia publik bagaimana penyakit disfungsi dan orientasi menyimpang telah membuat kita ‘pendek akal dan tangan’ untuk sesuatu yang bernama kemashlahatan bersama. Inilah yang harus kita dobrak karena sudah sedemikian latennya.
Lepaskan egosektor, telanjangi diri kita masing-masing. “Siapakah kita?, Masih adakah ‘keinginan’ kita untuk ‘sekadar’ survive di ‘Negeri Sejuta Kolong’ ini? Menuju Bangka Belitung yang damai dan sejahtera tergantung di otak, hati, tangan, dan kaki kita semua. Karenanya, niat dan tindakan kita harus selaras, seirama, dan masing-masing stakeholder (eksekutif, legislatif,dan yudikatif daerah [provinsi dan kabupaten/kota]; swasta, organisasi sosial politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan seluruh lapisan masyarakat [tua, muda, laki-laki, perempuan]) bersinergi satu sama lain. Untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan adanya perubahan sikap dan perilaku, yang harus dimulai dari perubahan persepsi dan pemikiran dibarengi dengan kesadaran total bahwa pekerjaan ini harus dilakukan dalam perspektif multi-aktor, multisektor, dan multidimensi. Dengan demikian, ‘Insyaf politik dan sosial’ ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selanjutnya, perlu dilakukan ‘silaturrahmi politik dan sosial’ untuk menuju bingkai persepsi bersama. Sebab jika tidak, jangan menyalahkan siapapun jika Bangka Belitung terkena ‘step’ dan ‘kolaps’: ibarat seorang gadis muda, dirinya tidak lagi menampakkan kerupawanan dan cahaya keindahan raut wajahnya, melainkan menjelma menjadi ‘wajah seorang gadis muda yang kusam, kumal, penuh lubang bernanah’. Dan khusus untuk Bangka, belajarlah dari Belitung, yang kini hanya berserakan sisa-sisa berupa penderitaan. Tidak ada kata terlambat, dan terlambat lebih baik daripada tidak pernah melakukannya. “Satu titik dalam relativitas waktu: saat inilah masa depan.” (“Agnostik”, Laskar Pelangi).
bagian dua
what should we do?
“Jika kau berencana untuk satu tahun, sebarkan benih padi; Jika kau berencana untuk satu abad, Tanamlah pohon; Jika kau berencana untuk seumur hidup, Didiklah masyarakat.” --Peribahasa Cina
Ada empat konsep tindak lanjut yang (saat ini baru bisa) diajukan beberapa hal sehubungan dengan Optimalisasi Sumberdaya Alam untuk Membangun Bangka Belitung Menuju Masyarakat yang Damai dan Sejahtera, dan juga dalam ikut menyukseskan program-program pembangunan pemerintah, terutama “Babel Archi 2010” yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Empat konsep yang diharapkan menjadi alternatif solusi konkret ini berupa (1) analisis SWOT dan berbagi peran, (2) mapping kawasan: pemetaan potensi dan ancaman kawasan secara partisipatif, (3) implementasi dan pengembangan kawasan dalam perspektif one village-one product: pemanfaatan kawasan terutama lahan-lahan bekas tambang sebagai basis sentra ekonomi kerakyatan (produksi, agrowisata, wisata pendidikan, dan laboratorium alam), (4) refungsionalisasi dan penguatan otonomi desa (misalnya penyusunan Perdes sebagai benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi ‘perang kepentingan’ dan kebijakan yang tumpang-tindih). Namun dengan catatan, setelah ada jalinan silaturrahmi (networking) antarpemangku kepentingan (stakeholders) dalam satu kerangka kesadaran dan pemahaman bahwa Bangka Belitung adalah milik dan tanggung jawab bersama. Di sini, partisipasi aktif merupakan kata kunci.
Pertama, Kontekstualisasi fastabiqul khairat adalah kata kunci. Artinya, masing-masing pihak merupakan aktor-aktor utama yang memiliki hak dan tanggung jawab berdasarkan peran dan kapasitas masing-masing. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan analisis SWOT secara jujur dan obyektif: apa saja kekuatan yang dimiliki dari diri kita masing-masing (Strenght), apa saja kelemahan (Weakness), peluang apa saja yang bisa dimanfaatkan (Opportunity), dan hambatan atau ancaman apa saja yang diperkirakan bisa menjadi batu sandungan (Threat). Dari hasil analisis inilah kita bisa sampai pada: siapa melakukan apa; bagaimana melakukan; dengan apa dan siapa; kapan, di mana, dan berapa lama; dan apa yang ingin dicapai.
Selanjutnya, coba tanyakan pada diri kita, apa yang bisa dilakukan atas peran dan kapasitas kita masing-masing. Yang menjadi kata kunci adalah ‘komitmen’ dan ‘konsistensi’ dalam menjunjung komitmen tersebut, dari semua pihak, sebab tanpa keduanya semua menjadi tidak berarti (seperti yang selama ini terjadi).
1. Pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) selaku eksekutif daerah bisa melakukan peran dalam konteks good governance, pengayom rakyat, yang dalam bahasa Cak Nun disebut sebagai yang “mengolah modal kekayaan Negara untuk kesejahteraan rakyat lahir batin”.
2. DPRD (prov. dan kab./kota) selaku wakil rakyat berperan dalam kapasitas sebagai penyambung lidah rakyat, terutama dalam perumusan dan penetapan kebijakan yang populis.
3. Lembaga peradilan (pengadilan dan kejaksaan) selaku pemegang otoritas yudikatif berperan dalam penegakan hukum secara adil, jujur, dan berdimensi HAM (Hukum tidak mengerti kecuali dirinya sendiri. Ia tidak mengakui segala sesuatu yang di luar dirinya, Cak Nun).
4. Kepolisian daerah (polda, polres, polsek) selaku pemegang otoritas bidang ketertiban, keamanan, dan penindakan/penegakan hukum mampu berperan sebagai pelindung/pengabdi/pengayom masyarakat sesuai dengan semboyan korps kepolisian. Misalnya, dengan mengembangkan secara intensif dan kontinyu konsep ‘polisi masyarakat’ secara tepat dan benar untuk menyiasati kendala luasan wilayah berbanding keterbatasan SDM. 5. Partai politik dan organisasi massa berperan dalam kapasitasnya sebagai wadah pembinaan masyarakat, terutama dalam bidang politik, secara kritis.
6. Lembaga swadaya masyarakat dan Perguruan Tinggi berperan dalam kapasitasnya sebagai agent of social change, pengusung misi pemandirian masyarakat menuju perubahan sosial yang demokratis. Untuk itu harus ada visi yang jelas sebab jika tidak hanya akan menjadi ‘kumpulan para pekerja sosial’.
Setidaknya ada 5 syarat bagi pelaksanaan peran dan kapasitas ini; (1) serius, (2) fokus, (3) memiliki gagasan, (3) mampu memformulasikan dan menjual gagasannya,(4) mampu melaksanakan gagasannya secara optimal, dan (5) mampu mempertanggungjawabkan gagasan tersebut baik secara finansial maupun material.
Bagi LSM, penekanan bisa dilakukan melalui dua aspek penekanan yakni pendampingan, konsultasi, dan advokasi. Sedangkan bagi Perguruan Tinggi melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara kaffah dan sinergis (dalam hal ini 5 jasa kurikuler PT: pengabdian, penelitian, administrasi umum yang berhubungan dengan akademik, umum, dan peningkatan ekstrakurikuler), sebab jika tidak hanya akan melahirkan ‘homo homini lupus’, yang mementingkan dirinya sendiri dengan eksistensinya.
7. Begitu juga dengan komponen masyarakat lainnya (individu/lembaga, laki-laki/perempuan, tua/muda: tokoh agama, tokoh masyarakat, ibu rumah tangga, guru, buruh, nelayan, petani dsb.) bisa dan harus berperan dalam kapasitasnya masing-masing. Pernyataan John F. Kennedy “jangan tanyakan apa yang telah diberikan oleh Negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada Negara?” bisa kita jadikan stimulasi untuk selanjutnya menyatakan “apa yang bisa kita lakukan untuk Bangka Belitung agar tidak menjadi 'the lost paradise’?”
7. Begitu juga dengan komponen masyarakat lainnya (individu/lembaga, laki-laki/perempuan, tua/muda: tokoh agama, tokoh masyarakat, ibu rumah tangga, guru, buruh, nelayan, petani dsb.) bisa dan harus berperan dalam kapasitasnya masing-masing. Pernyataan John F. Kennedy “jangan tanyakan apa yang telah diberikan oleh Negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada Negara?” bisa kita jadikan stimulasi untuk selanjutnya menyatakan “apa yang bisa kita lakukan untuk Bangka Belitung agar tidak menjadi 'the lost paradise’?”
Dalam konteks upaya bersama ini, pemerintah daerah dan instansi-instansi yang terkait harus secara optimal dan berkomitmen dalam menjalankan peran fasilitasi terhadap para stakeholders lainnya untuk bersama-sama berbuat bagi Bangka Belitung ‘baru yang bermartabat’.
Kedua, pemetaan potensi dan ancaman wilayah Bangka Belitung secara komprehensif. Peta ini dimaksudkan sebagai salah satu penunjang dasar pencapaian optimalisasi SDA. Namun, peta yang dimaksud jangan dibayangkan seperti yang dibuat para ahli pembuat peta karena memang tidak membutuhkan para ahli, melainkan suatu kolektivitas atawa partisipasi aktif semua komponen secara sinergis. Di sini dibutuhkan adanya sikap saling menghargai, saling percaya, saling member kesempatan dan kepercayaan, serta saling membahu. Komando (mungkin) bisa ada di tangan pemprov selaku fasilitator. Pembuatan peta ini juga tidak membutuhkan banyak orang, waktu, maupun biaya, karena tidak dilakukan (baca: dimulai) dalam perpektif wilayah yang luas, melainkan lingkup yang sebenarnya sempit, yakni desa/kelurahan. Konsep dasarnya adalah seperti bermain PUZZLE. Untuk itu ada beberapa hal yang dilakukan (tahap/langkah, strategi, kebutuhan).
1. Pemprov bisa membentuk tim ahli provinsi sebagai pemegang tongkat estafet tingkat provinsi yang bertugas menyusun persiapan: log frame kegiatan dan kebutuhan; peralatan, anggaran, target waktu, komponen isi peta (potensi dan ancaman) yang mau di’gambar’, strategi pelimpahan estafeta ke pemkab/pemkot dan hal-hal lain yang penting. Tim ini juga bertanggung jawab terhadap sosialisasi dan ‘pembekalan’ bagi tim ahli pemkab/pemkot sebagai pemegang tongkat estafet tingkat kabupaten/kota. (tim bertanggung jawab atas penyediaan peta wilayah Bangka Belitung [biasa topografi, administrasi, atau peruntukan lainnya] yang akan dibagikan ke tim di bawahnya). Sebaiknya juga dalam proses awal ini melibatkan berbagai stakeholders lainnya yang relevan.
2. Tim ahli pemkab/pemkot yang telah terbentuk dan ‘dibekali’ tersebut menjalankan tahap yang dilakukan oleh pemegang tongkat estafet sebelumnya kepada tim kecamatan dan desa/kelurahan. (dalam hal ini, bisa juga dilakukan penyerahan tongkat estafet dari kabupaten/kota lansung kepada desa/kelurahan.
3. Tim desa/kelurahan yang terbentuk dan telah dibekali inilah yang menjadi ‘pemain inti’ dalam pelaksanaan pemetaan kawasan karena segala pengetahuan dan pengenalan kawasan ada pada mereka dibandingkan tim-tim di atasnya maupun pihak lain di luar mereka (kabupaten/kota, provinsi, polda, dinas, dll.). Pelaksanaan pemetaan sendiri bisa melalui pendampingan LSM dan/atau PT), tergantung kebutuhan dan kapasitas mereka.
4. Peta yang dibuat tersebut harus menggambarkan kondisi obyektif potensi dan ancaman yang ada di desa (SDA, SDM, budaya, dsb.): keberadaannya maupun pemanfaatannya, (bisa saja peta yang sudah disediakan oleh Tim Provinsi yang di dalamnya digambarkan berbagai informasi penting terkait potensi dan ancaman, bisa juga peta yang dibuat sendiri oleh Tim Desa dengan mengacu pada peta dari Tim Provinsi atau bahkan memang dibuat sendiri oleh Tim Desa demi kemudahan). Khusus kaitannya dengan penambangan timah, peta tersebut harus menggambarkan sebaran lahan-lahan tambang: di mana lokasinya, berapa luasnya, berapa lama, aktif atau sudah pasif, siapa pemilik, dan informasi-informasi lain yang dipandang penting untuk dimunculkan.
5. Sesuai tenggat pemetaan yang fleksibel dan relatif (tergantung kondisi masing-masing kawasan) dalam perhitungan waktu yang tidak terlalu lama (berkisar antara 3 – 6 bulan), peta-peta tersebut dikumpulkan mulai dari masing-masing desa/kelurahan kemudian disusun menjadi peta kecamatan. Layaknya puzzle, di sini peta disusun atau ‘digambar-ulang’ untuk penyesuaian. Setelah selesai ‘digarap’ oleh Tim Kecamatan, peta diserahkan ke Tim Kabupaten untuk dilakukan hal yang sama, penyesuaian gambar peta.
6. Selanjutnya, peta dari kabupaten ini oleh Tim Provinsi ‘direka-ulang’ menjadi sebuah peta besar kawasan Bangka Belitung yang menggambarkan potensi dan ancaman di Bangka Belitung, yang lengkap, detil, dan komprehensif (termasuk hubungan antar-potensi dan ancaman). Pembuatan peta besar ini bisa melalui bantuan teknologi sehingga bisa tampil secara lebih meyakinkan dan mudah dibaca, baik secara utuh maupun disesuaikan dengan konteks peruntukannya. (Peta ini selain berupa peta besar bisa juga dibuat dalam beberapa jenis peruntukan, dan wilayah khususnya kabupaten).
7. Peta besar inilah yang nantinya menjadi salah satu ‘bahan dasar’ dalam penyusunan dan pelaksanaan strategi optimalisasi (blueprint; masterplan).
Kedua, pemetaan potensi dan ancaman wilayah Bangka Belitung secara komprehensif. Peta ini dimaksudkan sebagai salah satu penunjang dasar pencapaian optimalisasi SDA. Namun, peta yang dimaksud jangan dibayangkan seperti yang dibuat para ahli pembuat peta karena memang tidak membutuhkan para ahli, melainkan suatu kolektivitas atawa partisipasi aktif semua komponen secara sinergis. Di sini dibutuhkan adanya sikap saling menghargai, saling percaya, saling member kesempatan dan kepercayaan, serta saling membahu. Komando (mungkin) bisa ada di tangan pemprov selaku fasilitator. Pembuatan peta ini juga tidak membutuhkan banyak orang, waktu, maupun biaya, karena tidak dilakukan (baca: dimulai) dalam perpektif wilayah yang luas, melainkan lingkup yang sebenarnya sempit, yakni desa/kelurahan. Konsep dasarnya adalah seperti bermain PUZZLE. Untuk itu ada beberapa hal yang dilakukan (tahap/langkah, strategi, kebutuhan).
1. Pemprov bisa membentuk tim ahli provinsi sebagai pemegang tongkat estafet tingkat provinsi yang bertugas menyusun persiapan: log frame kegiatan dan kebutuhan; peralatan, anggaran, target waktu, komponen isi peta (potensi dan ancaman) yang mau di’gambar’, strategi pelimpahan estafeta ke pemkab/pemkot dan hal-hal lain yang penting. Tim ini juga bertanggung jawab terhadap sosialisasi dan ‘pembekalan’ bagi tim ahli pemkab/pemkot sebagai pemegang tongkat estafet tingkat kabupaten/kota. (tim bertanggung jawab atas penyediaan peta wilayah Bangka Belitung [biasa topografi, administrasi, atau peruntukan lainnya] yang akan dibagikan ke tim di bawahnya). Sebaiknya juga dalam proses awal ini melibatkan berbagai stakeholders lainnya yang relevan.
2. Tim ahli pemkab/pemkot yang telah terbentuk dan ‘dibekali’ tersebut menjalankan tahap yang dilakukan oleh pemegang tongkat estafet sebelumnya kepada tim kecamatan dan desa/kelurahan. (dalam hal ini, bisa juga dilakukan penyerahan tongkat estafet dari kabupaten/kota lansung kepada desa/kelurahan.
3. Tim desa/kelurahan yang terbentuk dan telah dibekali inilah yang menjadi ‘pemain inti’ dalam pelaksanaan pemetaan kawasan karena segala pengetahuan dan pengenalan kawasan ada pada mereka dibandingkan tim-tim di atasnya maupun pihak lain di luar mereka (kabupaten/kota, provinsi, polda, dinas, dll.). Pelaksanaan pemetaan sendiri bisa melalui pendampingan LSM dan/atau PT), tergantung kebutuhan dan kapasitas mereka.
4. Peta yang dibuat tersebut harus menggambarkan kondisi obyektif potensi dan ancaman yang ada di desa (SDA, SDM, budaya, dsb.): keberadaannya maupun pemanfaatannya, (bisa saja peta yang sudah disediakan oleh Tim Provinsi yang di dalamnya digambarkan berbagai informasi penting terkait potensi dan ancaman, bisa juga peta yang dibuat sendiri oleh Tim Desa dengan mengacu pada peta dari Tim Provinsi atau bahkan memang dibuat sendiri oleh Tim Desa demi kemudahan). Khusus kaitannya dengan penambangan timah, peta tersebut harus menggambarkan sebaran lahan-lahan tambang: di mana lokasinya, berapa luasnya, berapa lama, aktif atau sudah pasif, siapa pemilik, dan informasi-informasi lain yang dipandang penting untuk dimunculkan.
5. Sesuai tenggat pemetaan yang fleksibel dan relatif (tergantung kondisi masing-masing kawasan) dalam perhitungan waktu yang tidak terlalu lama (berkisar antara 3 – 6 bulan), peta-peta tersebut dikumpulkan mulai dari masing-masing desa/kelurahan kemudian disusun menjadi peta kecamatan. Layaknya puzzle, di sini peta disusun atau ‘digambar-ulang’ untuk penyesuaian. Setelah selesai ‘digarap’ oleh Tim Kecamatan, peta diserahkan ke Tim Kabupaten untuk dilakukan hal yang sama, penyesuaian gambar peta.
6. Selanjutnya, peta dari kabupaten ini oleh Tim Provinsi ‘direka-ulang’ menjadi sebuah peta besar kawasan Bangka Belitung yang menggambarkan potensi dan ancaman di Bangka Belitung, yang lengkap, detil, dan komprehensif (termasuk hubungan antar-potensi dan ancaman). Pembuatan peta besar ini bisa melalui bantuan teknologi sehingga bisa tampil secara lebih meyakinkan dan mudah dibaca, baik secara utuh maupun disesuaikan dengan konteks peruntukannya. (Peta ini selain berupa peta besar bisa juga dibuat dalam beberapa jenis peruntukan, dan wilayah khususnya kabupaten).
7. Peta besar inilah yang nantinya menjadi salah satu ‘bahan dasar’ dalam penyusunan dan pelaksanaan strategi optimalisasi (blueprint; masterplan).
Ketiga, rehabilitasi lahan bekas tambang. Aktivitas ini terkait langsung dengan pemetaan kawasan. Bisa dilakukan sebelum, saat, maupun setelah peta dibuat. Mungkin ambisius, tapi tentunya tak ada kata ‘tak mungkin’ dalam ‘kamus kebaikan’. Harus dipahami bahwa kawasan bekas penambangan bukanlah kawasan sisa atau dikembangkan menjadi sentra ekonomi kerakyatan (budidaya dan produksi) dan wisata khusus (wisata pendidikan dan laboratorium alam). Konsep pemanfaatan kawasan kolong sebagai wilayah pengembangan sentra ekonomi kerakyatan sangat berkaitan dengan pemahaman bahwa rehabilitasi lahan bekas penambangan bukanlah hal yang sulit, hanya perlu good will, kejelian, dan kesungguhan.
Pertama-tama, lahan-lahan bekas tambang terlebih dahulu harus dipilah. Bagi lahan-lahan bekas tambang yang masih memungkinkan untuk direhabilitasi, bisa dikembangkan sebagai sentra ekonomi kerakyatan. Sedangkan sebagian lahan yang dipandang sudah sangat sulit direhabilitasi, bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata khusus, yakni wisata pendidikan dan budaya serta laboratorium alam. Pengembangan kawasan bekas penambangan sebagai sentra ekonomi kerakyatan ini butuh keikhlasan pemerintah, swasta (khususnya yang bergerak di bidang penambangan timah, PT Timah Tbk., PT Koba Tin utama, dan PT-PT lainnya) untuk memberikan dana simultan atau modal awal bagi masyarakat sekitar kawasan bekas tambang tersebut. Untuk itu, perlu dipetakan dan diadakan riset yang serius untuk mengetahui usaha ekonomi apa saja yang bisa dikembangkan di wilayah tersebut dengan perspektif berkarakter spesifik, lokalitas, berantai , dan berkelanjutan sebagai penerjemahan konsep one village one product (model yang dikembangkan oleh Gubernur Aita (Jepang), Mori Hito Hiramasu, yang berhasil menciptakan wilayah Yonozu (pusat wisata di Yopuit). Artinya, masing-masing wilayah pengembangan memiliki kekhasan usaha dan dikelola oleh masyarakat sekitar. Ini dimaksudkan agar terhindar dari kebiasaan ‘latah’ yang akan memunculkan kompetisi tidak sehat, baik terhadap produk maupun pengembangan investasi.
1. Spesifik, artinya satu wilayah mengembangkan budidaya yang berbeda dengan wilayah lainnya: misalnya, satu wilayah sebagai kawasan budidaya rumput gajah, sedangkan wilayah lainnya sebagai kawasan budidaya jambu mete, akasia, atau jenis tanaman lainnya yang sesuai dengan karakter tanahnya. Tentunya tidak semudah membalik telapak tangan karena membutuhkan waktu yang tidak pendek dan pengorbanan yang tidak sedikit, namun upaya ini bukanlah sesuatu yang mustahil.
2. Lokalitas, berarti pengembangan kawasan sentra ekonomi kerakyatan ini menempatkan masyarakat sekitar kawasan sebagai aktor utama dan harus menjadi ujung tombak. Mengapa masyarakat sekitar kawasan? Karena dipercaya bahwa merekalah yang paling tahu tentang lingkungan mereka. Dengan demikian saja apa kebutuhan dan apa yang paling baik untuk dikembangkan di kawasan tersebut bisa secara akurat diketahui.
3. Berantai, berarti antara satu usaha berkaitan dengan usaha lainnya yang dikembangkan. Misal, satu kawasan dikembangkan sebagai sentra usaha pembuatan tahu dan tempe yang ampasnya bisa digunakan untuk pakan ternak bagi usaha penggemukan sapi di kawasan lainnya. Kemudian kotoran sapi tersebut bisa digunakan sebagai bahan pembuatan kompos yang nantinya akan ditebarkan di atas lahan bekas galian yang telah direklamasi. Waktunya tidak pendek, namun dalam hitungan antara 1 – 3 tahun, lahan tersebut sudah layak untuk dijadikan lahan budidaya tamanan bernilai ekonomis. Selanjutnya, lahan tadi bisa digunakan sebagai lahan budidaya rumput gajah yang nantinya akan menyuplai pakan buat ternak. Demikian dengan usaha lainnya dan selanjutnya.
4. Berkelanjutan, berarti bahwa usaha ini tidak dalam konteks ‘proyek’ yang bermain dengan batas waktu tertentu, melainkan harus dikembangkan secara berkesinambungan, terus-menerus, karena masih banyak kawasan lain yang belum tersentuh dan banyak hal yang bisa dilakukan. Prinsip yang dipegang adalah think globally act locally, spirit of independent and creativity, dan human resources of development. Di sinilah konsep learning from people menjadi penting untuk dicermati.
Selanjutnya, bagi kawasan yang tidak diperuntukkan sebagai kawasan rehabilitasi bisa dikembangkan sebagai kawasan wisata khusus seperti pendidikan, cagar budaya, dan laboratorium alam. Konsep pengembangan kawasan wisata khusus ini berangkat dari fakta dan banyak pengalaman di berbagai tempat. Selama ini kita menganggap bahwa obyek wisata tidak mesti melulu pemandangan alam yang biasanya berupa gunung, pantai, atau obyek lain yang dianggap indah. Padahal hakikat wisata tidaklah demikian. Seperti yang ditulis Pak Wibowo (Sekditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata) dalam makalahnya bahwa wisata adalah sesuatu yang “berbeda, unik, menarik” dan bukan “sekedar mengisi waktu luang” melainkan “untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kemanusiaan.” Karenanya, upaya pengembangan ini harus ditafsirkan ke dalam suatu pemikiran yang tentunya harus berbeda, unik, dan menarik.
Wisata pendidikan pendidikan sangat berkaitan dengan pengembangan kurikulum muatan lokal (mulok) misalnya, atau aspek lain dalam pendidikan. Ini merupakan strategi bagi pengembangan pendidikan daerah Bangka Belitung untuk membentuk generasi yang mengenal dan cinta pada daerahnya. Satu hal konkret yang bisa diangkat sebagai contoh adalah sosok Andrea Hirata. Kuatnya pengetahuan, pengenalan, dan kecintaannya pada daerah membuatnya termotivasi untuk membuang jauh-jauh rasa minder kedaerahannya. Terbukti, Belitung yang selama ini tidak banyak dikenal menjadi sorotan banyak orang dari seluruh Nusantara. Namun konsep pengembangan wisata pendidikan tidak dalam konteks seperti itu meskipun menjadi salah satu target capaian.
Konsep pengembangan wisata pendidikan yang diajukan ini sederhana karena berangkat dari pemikiran ‘tak kenal maka tak sayang’. Dengan (lebih) mengenal daerah sendiri (Bangka Belitung), maka akan muncul rasa sayang, sehingga akan memunculkan sikap dan pemikiran yang bijak dalam menyintai daerah, yakni untuk menjaga, mengembangkan, memajukan daerah, bukan merusak atau menghancurkannya.
Lalu mengapa ‘kolong’ dijadikan tempat wisata pendidikan, budaya, dan laboratorium alam? Tentunya aneh untuk didengar dan dilakukan. Di sinilah permasalahannya. Selama ini dalam pikiran guru, murid, sekolah, maupun penggiat pendidikan, kegiatan dharma wisata, study tour, atau istilah lainnya, dipahami sebagai kunjungan ke tempat-tempat yang jauh dan dipandang bergengsi, Jakarta atau Bali atau Jogjakarta misalnya. Namun demikian, jika dikritisi ternyata tidak memberikan manfaat sebanyak pengorbanan yang sudah dilakukan (bukan men-judge, tapi sebagian besar menunjukkan demikian karena biasanya yang lebih diutamakan adalah wisata ‘cuci mata’ dan ‘belanja oleh-oleh’-nya). Padahal, di wilayah Bangka Belitung sendiri tidak pernah kekurangan tempat yang bisa dijadikan tujuan semacam itu. Ketika ‘kolong’ menjadi tempat tujuan wisata, aspek belajar menjadi penekanan, terlebih ketika didukung dengan kebijakan dan arah pengembangan kawasan. Konteks ini bias menjadi acuan dalam penyusunan kurikulum muatan lokal (mulok) yang selama ini belum (atau mungkin tidak) memiliki dimensi kelokalan sebagaimana mestinya. Kolong sebagai tempat yang selama ini dipandang sebagai ‘sarang buaya’, tempat yang mengerikan, sebenarnya memiliki banyak materi pelajaran, baik ilmu alam, sosial, maupun budaya. Melalui kolong murid bisa mengetahui banyak hal tentang sejarah, dinamika, dan perkembangan daerah Bangka Belitung. Ke depan, wisata pendidikan ini tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan pendidikan lokal, tapi bisa dikembangkan secara nasional maupun internasional. Tentunya setelah segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan berbagai pertimbangan yang matang agar tidak menimbulkan masalah baru.
Keempat, penguatan desa sebagai benteng penghambat sekaligus pertahanan. Desa merupakan wilayah yang memiliki otonomi. Hal ini terlihat dari keberadaan kepala desa yang dipilih langsung oleh rakyat desa, bukan ditunjuk oleh pemerintah sebagaimana kelurahan. Sebagai sebuah wilayah otonom, desa sebenarnya mampu mandiri dan memiliki kekuatan untuk bisa menangkal pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Di Bali misalnya, ada satu wilayah yang dengan kebijakan lokalnya terbukti mampu menyelenggarakan fungsi sebuah negara untuk menyejahterakan rakyatnya (istilahnya, “negara dalam negara”). Karenanya, ketika saat ini banyak desa yang berubah menjadi kelurahan sehingga muncul pikiran, jangan-jangan memang disengaja, sebagai sebuah ‘skenario besar’ untuk pelan-pelan mengebiri dan menghilangkan otoritas desa. (Ini hanya pikiran nakal saja).
Atas dasar itulah, jika dikaitkan kasus-kasus perusakan lingkungan, TI misalnya, setidaknya ada 5 unsur penunjang kondisi kerusakan, yakni Kemiskinan, Kerentanan, Ketakberdayaan, Kelemahan jasmani, dan Tingkat isolasi. Karenanya, perlu dilakukan upaya melakukan refungsionalisasi dan optimalisasi otonomi desa sebagai benteng terakhir dari sebuah rantai administrasi wilayah. Dengan demikian, diharapkan dapat melindungi wilayahnya dari ‘jajahan’ para pemilik modal atau petualang eksploitasi. Melalui Peraturan Desa misalnya, berbagai kebijakan yang tumpang-tindih, tidak memihak rakyat, dan merugikan negara bisa ‘dipatahkan’. Strategi ini sudah banyak dilakukan di berbagai daerah dan terbukti efektif menangkal pengaruh negatif dari luar. Satu contoh menarik yang terjadi di wilayah Air Abik (Belinyu) di mana TI baru dikatakan sah dan boleh dilakukan jika mendapatkan ijin dari sesepuh adat, dengan ketentuan yang ditentukan dibuat desa dan wajib dipatuhi oleh pengusaha TI. Jika tidak, akan ada sanksi yang akan diterima.
Selanjutnya, apapun yang akan direncanakan dan dilakukan, partisipasi dan keterlibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat tidak dalam kerangka ikonis, melainkan esensi utama yang kongkrit. Ketika pembicaraan mengenai Bangka Belitung, yang dibicarakan dan yang berbicara tidaklah dalam kerangka individual, kelompok atau golongan tertentu, melainkan keseluruhan lapisan masyarakat. Sebab jika tidak, harapan dan mimpi menjadikan Bangka Belitung yang sejahtera dan bermartabat hanya akan menjadi “utopia” semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar