Selasa, 26 Januari 2010

Gerakan Sosial Niekekerasan

GERAKAN SOSIAL NIRKEKERASAN
Studi Kasus tentang Aksi Mogok Massal di Inggris Menentang Kedatangan George W. Bush

Menyikapi Kekerasan Sebagai Strategi Menuju Damai
Sepanjang perjalanan sejarah, kekerasan dan tindakan destruktif lainnya telah menjadi fenomena yang hegemonik dan umumnya ada di hampir setiap ranah kehidupan manusia. Kenyataan bahwa orang cenderung bertindak dengan kekerasan selalu menjadi perdebatan sengit yang tak pernah usai, dan tanpa disadari telah menjadi budaya, yang anehnya juga sering ditutup-tutupi. Di mana-mana setiap terjadi konflik, penyelesaian yang dianggap manjur adalah menggunakan kekerasan, yang tidak jarang berakhir dengan pertumpahan darah.
Secara psikologis, pelaku kekerasan bisa dikatakan “sakit”, tidak mampu memperlakukan diri secara normal untuk mengelola permasalahan yang dihadapi secara biasa. Banyaknya tekanan yang dihadapi, perlakuan yang tidak adil, dan ketakberdayaan, sehingga membuat orang menjadi frustasi. Ketika intensitas tersebut terus meningkat, muncul kemarahan dari dalam dirinya dan kemudian diekspresikan melalui tindakan kekerasan.
Melihat perkembangannya yang hampir tak terkendali, adalah tidak mungkin bagi kita membiarkan kekerasan untuk terus terjadi. Kita harus memutus jaring kekerasan dan keluar dari kemelut tersebut. Hal pertama yang mungkin dilakukan adalah memunculkan dan menyebarluaskan wacana perdamaian dan anti (nir)kekerasan sebagai kesadaran dan sikap hidup bersama. Kemampuan untuk hidup secara positif dalam masyarakat pluralis sangat diperlukan, sehingga provokasi-provokasi tidak lagi dengan mudah mengoyak jalinan nilai-nilai perdamaian, kebersamaan dan anti (nir)kekerasan. Tapi agar lebih efektif, usaha-usaha tersebut perlu ditunjang oleh kondisi struktural yang juga menunjang, yang demokratis, terbuka, rasional, dialogal, adil dan mumpuni.
Secara umum, paling tidak ada dua sikap yang cenderung diambil oleh manusia dalam menghadapi fenomena kekerasan, yaitu “sikap pasif” dan “resistensi dengan kekerasan”. Orang yang memilih sikap pasif biasanya dilingkupi oleh situasi ketakberdayaan (powerlessness) dalam menghadapi segala permasalahan hidup, terlebih dalam situasi dan tindakan kekerasan yang dialaminya. Sikap pasif itu bisa jadi disebabkan oleh nilai-nilai, keyakinan yang selama ini dipegang teguh dalam masyarakatnya, seperti agama dan sosial-budaya, atau karena kurangnya pengetahuan serta ketakpedulian terhadap lingkungan yang memunculkan sikap egois dan menipisnya solidaritas sosial. Akibat fatal dari tertanamnya sikap pasivisme ini, kekerasan dan ketidakadilan akan tetap bertahan kukuh dan langgeng.
Sementara kecenderungan kedua, resistensi dengan kekerasan yang bersumber dari potensi agresivitas manusia untuk mempertahankan hidupnya (survive) untuk melawan kekerasan tidak lebih baik dari kekerasan yang dilawan, bahkan tidak jarang malah lebih kejam. Selain itu, sebagai reaksi spontan, resistensi dengan kekerasan bisa muncul karena keputusasaan yang melingkupi korban akiat kekerasan yang telah sekian lama dialaminya. Atau munculnya godaan (keinginan) untuk menyelesaikan masalah dengan cepat sehingga mendorongnya melakukan kekerasan untuk menghilangkan kekerasan (fisik) yang dialaminya. Situasi ini seperti pepatah “jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang” yang akhirnya dimanifestasikan sebagai “lakukanlah kekerasan untuk menghadapi kekerasan tersebut” atau adagium “violence breeds violence” atau “kekerasan melahirkan kekerasan”.
Sebagaimana halnya sikap pasivisme, resistensi dengan kekerasan ini juga melanggengkan dan memupuk kekerasan, bahkan menjadi legitimasi bagi pelaku kekerasan untuk menindas atau melahirkan kekerasan yang lebih hebat lagi. Keduanya tidak mendorong pada perubahan situasi menjadi lebih adil dan damai. Dengan demikian sikap aktif anti (nir)kekerasan bisa menjadi pilihan dan semangat baru dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian.
Secara historis, gerakan nirkekerasan telah dikenal sejak sebelum Masehi pada masa Romawi Kuno, yaitu ‘long march’ ke Gunung Suci (Sacred Mount) yang dilakukan oleh para plebeian dan tentara sebagai gerakan menuntut reformasi. Seiring perjalanan waktu pola, sistem dan teknik gerakan aktif nirkekerasan ini mengalami perkembangan dan tersebar ke penjuru dunia serta menjadi semakin kompleks. Di mana-mana gerakan nirkekerasan semakin dikenal dan mulai banyak digunakan, hingga kemudian lahirlah Gandhi “el-Phenomenon” dengan gerakan nirkekerasannya yang efektifitas, keluasan dan signifikansinya belum pernah terjadi sebelumnya (bahkan sampai sekarang?).
Secara personal Gandhi yang terkenal dengan “Salt March”nya memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam sejarah panjang gerakan nirkekerasan, terutama dengan eksperimen-eksperimen politiknya dalam menggunakan metode nonkooperasi, pelanggaran, penolakan menguasai pemerintah, pengubahan kebijakan pemerintah, dan pengrusakan sistem politik. Gandhi melakukan modifikasi dengan memperhalus karakter teknik dan praktek gerakan nirkekerasan sehingga lebih dinamis, aktif dan fokus perhatian terbesar terletak pada strategi dan taktik.
Dalam aksi perlawanan nirkekerasan ini Gandhi menegaskan bahwa keberhasilan hanya akan dicapai apabila dilakukan dengan disiplin dan kesadaran diri, serta komitmen yang kuat bagi seluruh komponen perjuangan. Apabila dasar ini ringkih, tidak terbangun dengan kokoh dan utuh, maka terjadinya misorientasi terhadap arah gerakan dan kehilangan “ruh”nya bukanlah sesuatu yang musahil dan tidak tertutup kemungkinan akan berubah menjadi aksi kekerasan.
Berkaitan dengan uraian di atas, berangkat dari pemikiran Gandhi, tulisan ini akan mencoba melihat lebih jauh strategi, teknik, peluang dan hambatan dalam aksi nirkekerasan dalam pergerakannya. Sebagai bahan kajian diangkat kasus “Aksi Mogok Massal Menentang Kedatangan George W. Bush di Inggris”.

Aksi Nirkekerasan Menentang Kedatangan George W. Bush di Inggris
Sejak dikeluarkannya kebijakan penyerangan ke Irak oleh Presiden AS George W. Bush hingga pasca kejatuhan penguasa Irak Saddam Husein, aksi-aksi yang mengecam kebijakan tersebut terus berlanjut, bahkan sampai sekarang. Masyarakat internasional merasa bahwa keputusan yang diambil penguasa AS dan sekutunya bukannya menyelesaikan masalah, akan tetapi memperparah keadaan, khususnya bagi rakyat Irak.
Ketakutan tersebut terbukti dengan tidak siapnya pasukan “pembebasan” dalam menghadapi situasi secara keseluruhan, terlebih setelah kejatuhan Saddam yang tak terduga. Penghancuran simbol-simbol rejim Saddam, penjarahan dan pengrusakan fasilitas-fasilitas umum menjadi kesibukan dan keasyikan tersendiri, yang hanya ditonton tanpa usaha penghentian. Bahkan hingga berbulan-bulan pasca kejatuhan Saddam, situasi di Irak bukannya membaik tetapi semakin terpuruk. Kebebasan, demokrasi, dan perbaikan nasib yang digembar-gemborkan AS dan sekutunya tidak terlihat sama sekali, kecuali kesengsaraan rakyat Irak.
Berkaitan dengan permasalahan di Irak, masyarakat internasional sejak awal sudah tergerak untuk secara bersama-sama menyuarakan penderitaan rakyat Irak akibat kebijakan Presiden AS George W. Bush. Kecaman, kritik, dan sikap anti Bush bergema di mana-mana di seluruh penjuru dunia, seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia, termasuk di Inggris sendiri yang notabene merupakan sekutu terdekat AS dalam “perang” ini.
Sebagai contoh, secara spesifik kasus yang diangkat berkaitan dengan aksi nirkekerasan adalah aksi massal menentang kedatangan Presiden AS George Bush di London, Inggris. Adapun ilustrasinya secara kronologis sebagai berikut:
Rabu, 19 November 2003, setibanya Bush dan istri serta sekitar 700 anggota rombongannya (sekitar 250 orang merupakan agen rahasia) di Bandara Heatron, Kota London Selasa malam, sebelum melanjutkan perjalanan ke Istana Buckingham dengan helikopter kepresidenan AS, langsung disambut dengan protes sekitar seratus orang. Aksi ini dilakukan sebagai pemanasan sebelum aksi akbar esok harinya. Untuk aksi tersebut Michael Moore, pengarang dan pembuat film asal AS, yang tengah mempromosikan bukunya “Dude, where’s My Country” yang penuh kritik terhadap kepemimpinan Bush.turut memberikan dukungannya dan menghimbau agar warga Inggris untuk turun ke jalan. Rangkaian protes terhadap kunjungan Bush sudah berlangsung sejak kedatangannya.
Hari itu juga, sekitar 600 orang berkumpul di depan Istana Buckingham dengan membawa peluit, genderang, dan alat tabuh. Para pengunjuk rasa berdiam di depan istana sampai larut malam. Jumlah petugas keamanan yang menjaga mereka jauh lebih banyak dari pengunjuk rasa. Ratusan pengunjuk rasa juga berkumpul di Downing Street, termasuk Azmat Begg, yang puteranya ditahan di “Guantanamo Bay” karena dituduh sebagai anggota teroris.
Esoknya, Kamis, 20 November 2003, sekitar puluhan ribu pengunjuk rasa bergabung di pusat Kota London melakukan aksi memprotes kunjungan Presiden AS George W. Bush ke Inggris. Sejak pagi hari para aktivis antiperang berdatangan ke London dan berkumpul di dekat University of London serta Downing Street. Salah seorang pemimpin aktivis, Chris Nineham, berharap aksi demonstrasi ini akan membuat Kota London “berhenti”. Namun Walikota London, Ken Livingston, yang juga seorang aktivis antiperang menghimbau agar demonstrasi berlangsung damai.
Rencana aksi ini sebelumnya sempat dilarang karena alasan keamanan, yaitu adanya isu bahwa 15 – 20 anggota jaringan Al-Qaeda yang tinggal di Inggris merencanakan.sebuah serangan mematikan dan insiden ledakan bom di Turki -yang menewaskan 26 orang ini, termasuk Konsuler Jenderal Inggris Roger Short. Karena itu untuk pengamanannya pihak Kepolisian Metropolitan Kota London menyiapkan anggotanya sebanyak 14.000 ditambah agen rahasia Inggris dan AS.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai kelompok aktivis antiperang seperti Stop the War Coalition, Campaign for Nuclear Disarmament, Muslim Association of Great Britain dan Amnesty International dimulai pukul tiga sore waktu setempat. dengan mengambil jalur jalan-jalan protokol, melewati gedung-gedung pemerintahan, termasuk kantor Perdana Menteri Tony Blair di Downing Street. Dengan didukung spanduk, poster, peluit, genderang, dan berbagai alat bunyi-bunyian lainnya, mereka berjalan perlahan menuju arah gedung Parlemen. Salah satu bunyi spanduk “Dicari: Bush dan Blair, Penjahat Perang”.
Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa dukungan Pemerintah Inggris terhadap kebijakan Presiden AS George W. Bush justru membuat kehidupan mereka menjadi lebih tidak aman. Menurut salah satu koordinator Stop War Coalition, Lindsey German, pihaknya telah mengingatkan sebelum Perang Irak bahwa serangan seperti yang terjadi di Istabul kemungkinan akan meningkat, “Satu-satunya cara untuk menghentikan ini (serangan) bukanlah dengan mengebomi rakyat, tetapi dengan menggunakan solusi politik”. Tak ketinggalan seorang sosiolog Jerman yang tinggal di Inggris juga menegaskan “Hal ini tak akan terjadi seandainya tak ada perang di Irak. Amerika telah membangun terorisnya sendiri”. Sedangkan Amnesty International memprotes kondisi para tersangka teroris yang ditahan di pusat penahanan AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Para pengunjuk rasa juga memprotes besarnya biaya pengamanan Bush yang nantinya akan dibebankan kepada pembayar pajak di london, yaitu sekitar 2 poundstrerling setiap anggota keluarga.
Rangkaian aksi ini berakhir di Trafalgar Square dengan “upacara” penumbangan patung Bush –yang dibuat khusus dalam rangka kunjungan Bush ke Inggris- dengan cara ditarik memakai tali, lalu diinjak-injak. Aksi ini meniru aksi penumbangan patung Saddam Husein oleh pasukan AS pada 9 April lalu, ketika berhasil memasuki Kota Baghdad.

Benarkah Metode Nirkekerasan Realistis dan Efektif ?
Dari kasus di atas, muncul pertanyaan mendasar “mengapa aksi menentang kedatangan Bush di Inggris dikategorikan sebagai aksi yang nirkekerasan?” Ada dua alasan yang mendasarinya, pertama, walaupun sejak beberapa hari sebelum aksi berlangsung ada beberapa aktivis yang ditangkap, dengan alasan keamanan akibat isu akan adanya teror kelompok al-Qaeda, para pendukung aksi tidak terpancing emosinya untuk melakukan tindakan anarkis menuntut pembebasan mereka. Mereka tetap dengan perencanaan pagelaran aksi secara damai sebagai alat mereka, dan mereka sadar bahwa hal tersebut bagian dari resiko perjuangan. Dan kedua, jalannya aksi itu sendiri berlangsung relatif tenang, damai dan simpatik, bahkan mereka mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Selama aksi tidak terjadi anarkisme seperti tindakan kekerasan dan pengrusakan yang mengganggu stabilitas atau merugikan masyarakat umum, termasuk terorisme yang diduga pemerintah akan membonceng aksi tersebut.
Kedua alasan di atas memang belum sepenuhnya bisa menegaskankan sepenuhnya bahwa aksi tersebut sebagai nirkekerasan, tapi setidaknya, secara umum aksi di atas layak untuk dimasukkan ke dalam kategori nirkekerasan. Secara umum, batasan nirkekerasan masih terus diperdebatkan, dan masih belum pernah berada dalam satu kesimpulan yang “baku” dan universal. Di satu pihak, sebagian orang menganggap bahwa gerakan nirkekerasan sepenuhnya harus terhindar dari unsur-unsur kekerasan, termasuk simbol-simbol yang mencerminkan kekerasan itu sendiri. Sebagai contoh, dalam kasus di atas, aksi penumbangan patung Saddam tidak seharusnya dilakukan karena tindakan tersebut mencerminkan adanya unsur kekerasan, kebencian dan kemarahan. Sementara di pihak lain, sebagian menganggap hal tersebut masih merupakan sesuatu yang wajar, dan tidak bisa serta merta dikatakan sebagai kekerasan. Bagi mereka tindakan apapun selama tidak melukai, menyakiti, menyiksa atau menindas secara fisik orang lain, masih bisa dikategorikan sebagai aksi nirkekerasan.
Terlepas dari perdebatan di atas, nirkekerasan sebagai suatu fenomena telah mendapatkan tempat tersendiri dalam banyak aktivitas masyarakat dunia. Nirkekerasan telah menjadi alternatif dalam aksi-aksi perlawanan terhadap kekerasan seperti, penindasan, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan, kemiskinan ataupun kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat umum. Bahkan sebagian orang tanpa sungkan menyatakan bahwa aksi nirkekerasan merupakan wujud dari semangat ketuhanan karena dilakukan untuk menegakkan kebenaran, yang hakikinya adalah milik Tuhan. Adapun untuk mencapai kebenaran dengan melawan kekerasan, harus dengan sikap yang dilandasi cinta-kasih.
Selain karena biaya untuk melakukan “counterthreat” mahal, ada beberapa alasan mengapa aksi nirkekerasan dipilih sebagai strategi, antara lain:
1. adanya mobilisasi massa dan partisipasi yang lebih besar.
2. mampu menarik simpati publik lebih luas, baik domestik ataupun internasional.
3. korban atau resiko yang ditimbulkan relatif lebih sedikit, bisa diminimalisir.
4. berkesinambungan, fleksibel, dan situasional.
5. membuka peluang untuk dilakukannya dialog.
6. mendapat legitimasi, baik agama, kultural, maupun politik.
7. mempercepat proses kesadaran publik.
8. memperkecil peluang penggunaan kekuatan kekerasan yang biasanya digunakan terhadap aksi separatis ataupun ketidakpatuhan.

Secara umum ada sejumlah prinsip-prinsip yang dikandung dalam gerakan nirkekerasan yang harus dipegang teguh oleh siapa pun yang akan melakukannya.
1. Memandang bahwa hidup sebagai sesuatu yang suci.
Mengapa manusia diciptakan tentunya bukan tanpa sebab. Tuhan menciptakan manusia sebagai manifestasi dari sifat cinta, kasih dan sayang-Nya. Oleh karena itu kehidupan harus dijaga dan tindakan zalim seperti menyakiti, menyiksa bahkan membunuh jiwa berarti merebut kecintaan Tuhan atau melakukan yang bukan haknya. Jadi, prinsip-prinsip kemanusiaan harus dijunjung tinggi.
2. Percaya bahwa setiap pribadi mempunyai hati nurani.
Setiap manusia memiliki hati-nurani, selain akal-pikiran dan fisik. Hati-nurani merupakan sesuatu yang suci, pancaran dari kebenaran Tuhan. Sejahat-jahatnya orang, ia tidak bisa mengingkari hati-nuraninya karena hati-nurani selalu benar. Dalam melakukan aksi nirkekerasan kita mesti mengetuk hati-nurani pelaku kekerasan atau melakukan tindakan penyadaran (conciousness), sebagaimana yang dicontohkan oleh Muhammad, Yesus, Gandhi maupun Luther King. Ini juga berlaku bagi pendukung nirkekerasan ketika berada di tengah situasi yang penuh godaan untuk membalas dengan tindakan kekerasan.
3. Bersedia berkorban bagi orang lain.
Sepertinya prinsip ini sulit dilakukan. Namun demi kebaikan dan tercapainya tujuan setiap pendukung aksi nirkekerasan harus, mau tidak mau, siap berkorban bagi orang lain.
4. Gerakan adalah sarana dan strategi menegakkan kebenaran dan keadilan
Sebagai sebuah pilihan yang strategis, yang harus selalu diingat adalah bahwa aksi nirkekerasan bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak ada tujuan selain itu, apalagi kepentingan politik-kepentingan, baik pribadi atau kelompok.

Dalam prakteknya, gerakan nirkekerasan tidak selalu berhasil, antara lain karena belum berkembang secara merata dan semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi. Jadi, sebagai suatu teknik intuitif, gerakan ini menuntut usaha lebih lanjut untuk meningkatkan efektifitas dan potensi politiknya. Untuk itu, diperlukan suatu metodologi gerakan yang sistematis dan komprehensif, walaupun sebenarnya dalam gerakan nirkekerasan tidak ada strategi khusus yang siap pakai (ready for use). Metodologi yang bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman gerakan nirkekerasan dan proses dialektikanya ini sangat diperlukan dalam menghadapi perkembangan, kompleksitas dan modernisasi kekerasan.
Secara metodologis (umum) ada dua jenis persiapan dalam gerakan nirkekerasan, yaitu persiapan pribadi dan persiapan kelompok. Persiapan pribadi bisa dilakukan dengan melakukan dialog tentang pengalaman, studi dan refleksi pribadi terhadap kekerasan dan akibatnya. Ini diperlukan untuk membangun keyakinan dan menumbuhkan nilai-nilai dasar nirkekerasan, dan selanjutnya hasil refleksi ini akan dijadikan titik tolak dalam menyusun strategi aksi. Selain itu, setiap pribadi diajak untuk melakukan latihan-latihan pribadi seperti puasa atau tidak makan daging (hewan). Latihan-latihan tersebut bisa dan sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu kelompok agar makin memperkuat soliditas antar pribadi.
Setelah masing-masing pribadi memiliki kesadaran dan memahami filosofi gerakan nirkekerasan serta mampu menjadi bagian dari kelompok, maka tahap berikutnya adalah mengorganisir dan mempersolid kelompok. Di sini masing-masing pribadi harus mampu memunculkan dan memperkuat keterikatan persaudaraan antar pribadi, memiliki visi dan persepsi yang selaras dan lengkap tentang gerakan nirkekerasan maupun situasi kekerasan, serta saling mengingatkan satu sama lain agar tidak terpengaruh dengan situasi kekerasan, sehingga tidak mudah disusupi oleh orang lain yang memiliki maksud tidak baik atau tidak sejalan dengan gerakan nirkekerasan (yang seperti kasus di atas adanya ketakukan disusupinya aksi oleh gerakan terorisme).
Di sini, bentuk latihannya sama dengan latihan pribadi, seperti puasa, namun dilakukan bersama-sama untuk melatih pengendalian diri atau untuk merasakan penderitaan orang lain. Dilakukan juga latihan strategi dan taktik gerakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, serta simulasi-simulasi untuk mematangkan hasil latihan. Perlu juga dilakukan kerja sama dan konsolidasi dengan kelompok-kelompok lain agar gerakan memiliki dukungan, kekuatan, dan daya tekan yang kuat sehingga tidak mudah dilemahkan. Seperti kasus di atas, aksi demonstrasi dilakukan tidak hanya oleh satu kelompok, melainkan beberapa kelompok yang bergabung menjadi satu kekuatan, yaitu menentang kedatangan Presiden AS George W. Bush di Inggris berkaitan dengan kebijakannya melakukan penyerangan ke Irak, maupun isu terorisme.
Sebelum melakukan aksi, persiapan lain setelah latihan-latihan adalah melakukan analisis kritis terhadap kekerasan berdasarkan data otentik dikaitkan dengan faktor-faktor sosial kemasyarakatan. Karena analisis kekerasan tidak mungkin bisa sekali jadi, maka harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan agar nantinya tidak menjadi stereotip dan dapat membantu dalam penyusunan strategi gerakan.
Karena dalam gerakan nirkekerasan tidak dikenal tokoh sentral, maka setiap pribadi dan/atau kelompok harus berperan aktif dan bertanggung jawab terhadap pengembangan gerakan dan strateginya. Agar tersusun rancangan gerakan nirkekerasan yang efektif, tepat dan berhasil-guna, diperlukan inisiatif dan kreativitas pribadi dan/atau kelompok dalam menentukan langkah-langkahnya, seperti 5 W dan 1 H (who, what, when, where, why dan how) secara jelas. Dalam rencana strategis gerakan juga perlu dicermati bentuk atau model yang akan dipakai dalam aksi. Hal ini penting karena situasi kekerasan yang dihadapi unik, khas, situasional, sehingga harus dihadapi dengan unik, khas dan situasional juga.
Dalam kasus aksi di Inggris di atas terlihat bagaimana perencanaan suatu aksi yang terorganisir dengan baik. Gerakan yang dimulai dengan aksi-aksi kecil sebelum kedatangan Bush ke Inggris, hingga aksi massal yang berakhir di Trafalgar Square. Persiapan-persiapan yang dilakukan begitu matang, baik skenario, model bahkan pernak-pernik yang dipergunakan seperti patung Saddam yang dirobohkan sebagai aksi pamungkas dari demontrasi. Maka dari itu, penting untuk memahami dan berpedoman pada filosofi bahwa “perjuangan demi kebaikan yang sendiri-sendiri akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir” atau dengan kata lain “gerakan nirkekerasan yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kekerasan yang terorganisir”.
Berkenaan dengan pertanyaan sub-judul terakhir, realistis dan efektifitas metode nirkekerasan sebagai paham dan gerakan sedikit banyaknya bisa dibuktikan oleh banyak aksi, yang salah satunya “Aksi Massal Menentang Kedatangan George W. Bush di Inggris” di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar