Selasa, 26 Januari 2010

militer, pemerintah, dan masyarakat sipil

MILITER, PEMERINTAH dan MASYARAKAT SIPIL


( Peran dan Posisi dalam sebuah Negara )





Kalau ada pertanyaan manakah yang lebih penting dari tiga komponen diatas dalam sebuah negara? Tentu ketiganya sama pentingnya. Premisnya, militer, pemerintah dan warga masyarakat, instrumen yang diwajibkan hadir dalam negara. Tentu, ini hanya menjadi beberapa bagian terpenting, dari sekian banyak instrumen yang memang harus ada dalam sebuah negara.

Interaksi ketiga instrumen ini eksistensinya memainkan peran dan fungsinya. Jaminan keseimbangan perjalanan negara ini sangat terletak pada trust mutualisme (saling pengertian) tiga komponen yang terlihat terpisah, namun saling mengait, seperti lingkaran yang tidak terpisahkan.

Lebih jauh penyempurnaan gerak menuju tatanan yang demokratis, ketiga komponen dituntut memainkan peran profesionalismenya. Militer berfungsi sebagai alat negara dalam rangka menjaga kedaulatan dan integritas bangsa dari ancaman luar maupun dalam negeri. Pemerintah berkewajiban melaksanakan kebijakan yang mengatur seluruh kepentingan publik, dengan pedoman norma perangkat aturan yang terlegislasi.

Selanjutnya, untuk melahirkan balance kedua peran instrumen di atas, diperlukan kontrol. Disinlah posisi masyarakat sipil harus berperan. Ini dimaksudkan agar militer dan pemerintah yang berkuasa secara struktural dan memiliki hak otonom dan otoritas melakukan tindakan koersi (Max Weber), terkendali oleh instrupsi konstruktif masyarakat sipil.

Lantas apa jadinya jika tiga komponen tersebut di atas sudah tidak berfungsi dengan baik atau basic peran dan tugas menyimpang dari yang semestinya. Seperti yang telah dikemukan pada bahasan sebelumnya, profesionalisme peran ketiganya jaminan stabilnya eksistensi negara. Jika terdapat salah satu diantaranya yang meyimpang, maka kepincangan dipastikan terjadi. Destabilisasi politik menjadi bagian ancaman yang inklusif.

Misalnya, militer mengintervensi peran politik yang semestinya dijalankan oleh pemerintahan sipil. Atau militer dijadikan watch dog (anjing penjaga) kekuasaan untuk mengintimidasi dan menundukkan kepatuhan masyarakat (pelanggengan kekuasaan pemerintah yang berkuasa).

Selain itu peran pemerintah tidak bisa membedakan batasan wewanangnya, terlibat sangat jauh memasuki ruang-ruang peran dan inisatif yang menjadi bagian militer. Dan hanya terkonsentrasi pada benturan kepentingan perebutan kekuasaan.

Pada konteks ini, masyarakat sipil mau tidak mau akan terposisikan pada pojok yang termajinalkan. Bergejolak pada level yang variatif. Bersikap pasif, skeptis, dan melakukan perlawanan pembangkangan sipil. Konfigurasi gerakan perlawanan ini, mungkin, muncul dalam bentuk motif yang beragam, misalnya mencari alternatif penyaluran apresiasi, jalan dan trotoar menjadi wadah penyampaian aspirasi, bahkan tidakjarang hadir dalam bentuk manifes yang radikal.

Dalam bentuknya yang ‘ekslusif’, pembangkangan sipil ini dapat berupa pembentukan lembaga-lembaga baru bergaya militer untuk bermain peran sebagai penjaga keamanan. Pertanyaannya kemudian, apa yang akan terjadi degan negara tersebut?

Agus Surata dan Tuhana Taufiq A dalam bukunya, Runtuhnya Negara Bangsa menyebutkan bahwa salah satu ciri atau tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah “keluarnya negara tersebut dari jalur rel”. Sebuah negara keluar dari jalur rel apabila sebagian besar elemen-elemen yang dimiliki sebuah negara sudah tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya. Mereka saling bertikai untuk merebut pengaruh dan wewenang sehingga semuanya ingin berkuasa dan memerintah dalam sebuah negara.

Apabila ini terjadi maka sudah dipastikan yang keluar sebagai pemenang adalah militer, karena selain memiliki senjata dan alat-alat tempur yang menakutkan mereka juga memiliki organisasi yang solid dan terorganisir, sehingga diyakini tidak akan ada yang berani untuk melawannya.

***********

Di negara modern yang demokratis, peran militer/tentara dibatasi pada pelaksanaan pemerintah dibidang pertahanan nasional dan dalam keadaan darurat keamanan dalam negeri. Yang berhak mengeluarkan perintah kepada militer adalah pemerintah yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan demokratis, yaitu yang dilakukan secara umum, bebas dan rahasia. Kekuasaan pemerintah pilihan rakyat diatas militer dikenal dengan istilah supremasi sipil.

Kondisi darurat ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang rinci. Penyusunan organisasi dan kebijakan militer, termasuk pengangkatan dan penempatan perwira, juga ditetapkan oleh undang-undang. Pemerintah tidak berhak mencampuri hal-hal yang menjadi bagian dari organisasi atau kebijakan internal militer, yang menyangkut profesi ketentaraan, sebagaimana tentara tidak berhak mencampuri hal-hal diluar tugasnya, seperti berpolitik dalam sebuah negara.

Peran pemerintah selain mengatur keberadaan militer, melalui perangkat aturan yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah dituntut untuk dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, sehingga apa yang kita inginkan sebuah masyarakat madani dapat terwujut. Disini posisi pemerintah memang berada diatas militer dan masyarakat sipil, karena memang diatas pundak merekalah masa depan sebuah negara ditentukan.

Kolaborasi hubungan yang harmonis antara tiga komponan tersebut diatas memang sangat diperlukan dalam sebuah negara, lebih – lebih negara yang menggunakan sistem demokrasi. Peran dan posisi tiga komponen tersebut harus benar-benar sesuai dan optimal sehingga tidak ada ketimpangan dalam proses jalannya sebuah negara.

Tiga elemen diatas memiliki peran dan posisi yang tidak sama. Militer sebagai alat kekuataan nagara yang berperan sebagai penjaga stabilitas keamanan bangsa harus mampu memberikan keamanan bagi seluruh rakyatnya dari ancaman negara lain maupun kelompok-kelompok bersenjata lainnya. Peran militer ini bisa saja keluar dari profesionalimenya (penjaga stabilitas keamanan internal dan eksternal), misalnya memperbantukan militer terhadap masyarakat yang tertimpa musibah; bencana alam korban banjir, gempa bumi, dll.

Max Weber, dalam bukunya Politic as a Vocation, mengingatkan agar penggunaan kekerasan fisik yang sah (kekuatan militer) oleh negara harus selalu dikontrol melalui seperangkat norma maupun aturan, lembaga, serta praktek-praktek sosial secara terus menerus oleh seluruh komponan masyarakat, sebagai bagian paling hakiki dari demokrasi dalam suatu negara.

Peringatan Weber itu memang beralasan mengingat militer/tentara sebagai sarana bagi penggunaan kekerasan yang sah, sering menyimpang dari tujuan awalnya. Atas nama tugas mengamankan negara, militer melakukan berbagai tindakan kekerasan, teror, penculikan, dan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri.

Di negara-negara rezim otoritarian praksis kekerasan tentara semacam ini banyak terjadi (baca; Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru). Penggunaan wewenang dengan kekerasan ini sudah menjadi hal biasa dilakukan militer, sehingga sering kita dengar tindakan-tindakan militer yang berlebihan dalam menjalankan tugasnya.

Cerminan realitas ini dapat dilihat di berbagai wilayah konflik Indonesia, seperti Aceh, Papua, Timika, dan beberapa daerah lainnya. Kekerasan di wilayah tersebut, seolah menjadi sesuatu yang ‘wajib’ dilumrahkan oleh justifikasi militer yang berlindung di balik tameng demi menjaga stabilitas dan integritas negara. Akan tetapi sesungguhnya, represif (irational approach), kekerasan hanya akan melahirkan aksi kontra kekerasan yang membias lahirnya masalah baru yang lebih rumit seperti yang dihadapi negara pada saat ini.

Paradigma kekerasan militer, tidak populer lagi. Pendekatan kekerasan hanya melahirkan bias masalah yang mengkusut, sulit lagi memilah asasi masalahnya. Karenanya, eksistensi militer dengan paradigma kekerasannya, tidak lagi memposisikannya sebagai stabilisator dan instrumen penjamin pertahanan negara terhadap ancaman eksternal dan eksternal, tapi malah menjadi momok yang mengancam keberdaan negara.

Dari akumulasi wacana yang tergambar di atas, kesadaran posisi ketiga komponen untuk tidak mengintervensi satu sama lainnya (bersifat profesionalisme), dalam hubungan yang harmonis.Ini hanya bisa diwujudkan jika ditumbuhkan kepercayaan dalam melakukan tugas masing-masing untuk menciptakan tatanan demokrasi ideal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar