Kebenaran yang Bersembunyi dan Kejujuran yang Tidak Disukai
Di mana kita dapat menemukan kebenaran? Pertanyaan klasik ini memang sulit dan “hampir” tidak mungkin untuk dijawab karena dari dulu memang sulit menemukan kebenaran, bahkan sampai-sampai “bulu” kepala para pemikir menjadi (maaf) semakin menipis alias botak.
Kebenaran seolah telah menjadi makhluk yang asing, langka, dan terancam punah. Ia tidak lagi bersemayam di dalam hati banyak orang. Ia telah tersingkir oleh kebatilan yang menawarkan harta, senjata, dan tahta. Memang, kebenaran itu licin bagai belut, namun kebatilan terus mengejarnya dengan cara menyamar sebagai kebenaran itu sendiri. Kebatilan dipromosikan sebagai kebenaran dengan kekuatan kekuasaan, kekerasan, dan uang untuk pembenaran. Fungsi otak pun menjadi terkekang akibat pendapat yang dimonopoli, sehingga kode etik hanya menjadi “polesan” pada sensualitas kehidupan yang ambigu, yang sarat sekaligus miskin etiket. Akibatnya, kriminalitas merebak, korupsi merajalela, dan pelanggaran terhadap hak-hak manusia lain hanya dianggap sebagai masalah “ecek-ecek” (meminjam istilah Amin Rais).
Menarik untuk dicermati pendapat dari Frans de Waal, seorang etolog (ahli perilaku hewan) bahwa hewan-hewan ternyata tahu akan aturan sosial, prinsip tolong-menolong atau gotong-royong, saling berbagi rezeki, mampu menyelesaikan sengketa, bahkan memiliki rasa keadilan yang elementer. Ia mencontohkan bagaimana semut berbagi makanan dan bergotong-royong, kawanan gajah yang menolong anak gajah lain yang terperosok, monyet yang saling berpegangan tangan setelah berkelahi, atau anjing dan kucing yang menundukkan mukanya sewaktu merasa bersalah. Ia menegaskan bahwa perilaku etis tersebut adalah hasil evolusi yang panjang dalam sejarah hewan, dan manusia hendaknya jangan memutus mata rantai tersebut (Jacob, 2000).
Selanjutnya, jika membaca novel Animal Farm-nya George Orwell, kita pasti akan merasa tersedak. Bagaimana tidak, novel ini menceritakan tentang makhluk luar angkasa yang bingung mengamati manusia dan babi dalam kandang percobaan karena sulit membedakan keduanya, yang mengisyaratkan ke”tak-beda”an manusia dengan hewan. Betapa malunya kita sebagai manusia, yang nota-bene sebagai makhluk yang paling sempurna (insan kamil), yang memiliki akal-pikiran untuk bisa membedakan mana “yang baik dan yang buruk”, mana “yang pantas dan yang tidak pantas” atau mana “yang benar dan yang salah”.
Profesor Teuku Jacob (almarhum), guru besar UGM yang juga seorang paleoantropolog dan polemolog, mengatakan ada dua hal penting yang menopang adanya kebenaran, yaitu “keadilan” dan “kejujuran”. Menurutnya, bisa dipastikan bahwa siapa pun yang tidak menyukai kebenaran, ia juga tidak akan menyukai keadilan dan kejujuran. Padahal, tanpa keadilan tak akan ada kerukunan, dan tanpa kejujuran anyaman sosial kemasyarakatan akan tersayat. Tegasnya, prinsip dan falsafah hidup tidak akan tegak tanpa adanya keadilan dan kejujuran. Demikian pula stabilitas dan perdamaian menjadi mustahil tercapai karena kebenaran semu yang direkayasa tidak akan dapat menggantikan kebenaran hakiki.
Celakanya, sekarang ini, kebenaran tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang mulia, sementara kejujuran pun telah menjadi sesuatu tidak disukai oleh kebanyakan manusia. Kebenaran sepertinya hanya milik orang-orang atau kelompok yang berkuasa, sementara kejujuran tidak lebih sekedar dambaan bagi orang-orang yang lemah dan terpinggirkan (minoritas/marjinal). Kebenaran dan kejujuran hanya dijadikan “dekor” atau “mantera” dalam interaksi sosial, bahkan hanya sebagai sesuatu yang abstrak, yang tidak ada tolok-ukur pastinya, kecuali terus diperjuangkan.
Ironisnya pula, kejujuran malah dianggap sebagai penghambat untuk bertahan hidup, untuk maju ataupun untuk menjadi sejahtera (kaya?). Sementara ketidakjujuran dianggap menguntungkan, membuat “si pelaku” dapat hidup makmur sampai beberapa keturunan atau mencapai hasil yang banyak, hanya dengan sedikit waktu dan energi. Dan kini, ketidakjujuran sudah menjadi budaya yang memiliki aturan-aturan sendiri, yang berbeda dari masyarakat “normal” (culture of dishonesty).
Dewasa ini, kemiskinan dan ketakteraturan negara (disorientasi) telah membuat para penghuninya memakai ketidakjujuran dan kejahatan tidak hanya untuk bertahan hidup, sebab untuk masuk ke dalam golongan elit membutuhkan kolusi/koneksi dan nepotisme sehinga aktivitas korupsi kian merajalela. Dalam kasus korupsi misalnya, kebanyakan tidak ada yang berani melaporkannya, sebab hampir tidak ada yang akan membelanya. Tidak jarang “si pelapor” malah menjadi kambing-hitam (scapegoat), dilibas, dijadikan tersangka, dan ditahan, seperti banyak kasus yang terjadi. Sedangkan “si koruptor”, meskipun ditangkap, dinyatakan bersalah dan masuk penjara, tapi ia dan keluarganya tetap berlimpah keuntungan. Bahkan mereka bisa hidup enak di dalam penjara, yang telah diatur sedemikian rupa layaknya di rumah sendiri (hotel berbintang atau istana?).
Begitu juga dalam pentas politik, kecurangan-kecurangan ataupun deal-deal tertentu untuk kepentingan masing-masing partai politik menjadi hal yang lumrah. Tidak jarang pula pengurus maupun anggota parpol melakukan tindak penipuan terhadap masyarakat, hanya demi ambisi mengejar kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongannya. Sungguh mengenaskan.
Kita tentunya tahu cerita tentang Pinokio (Pinocchio, la Storia di un Burratino), yang ditulis oleh Carlo Collodi (nama aslinya Carlo Lorenzin) pada tahun 1882. Diceritakan bahwa boneka kayu yang diberi nama Pinokio, yang dibuat oleh seorang pemahat bernama Gepetto, menjadi “hidup” dan mengalami petualangan yang panjang dengan kenakalannya, di mana kemalangan dan kemujuran silih-berganti menimpanya. Yang menarik adalah, setiap si Pinokio berdusta, hidungnya menjadi bertambah panjang. Meskipun demikian, tidak jarang untuk menutupi satu kebohongan ia melakukan kebohongan lain sehingga hidungnya semakin panjang lagi, sampai ia berkata benar dan jujur hingga hidungnya kembali normal.
Bayangkan seandainya Pinokionisasi bisa diterapkan. Kita akan mudah mendeteksi adanya ketidakjujuran di sekitar kita. Atasan dan bawahan akan tahu apakah di kantornya ada korupsi atau tidak, guru/dosen juga tahu apakah ada siswa/mahasiswa yang menyontek, polisi pun tak perlu mem”permak” tersangka, atau jaksa, hakim, dan pengacara tak perlu sampai dilempari sepatu oleh terdakwa. Dalam pemilu dan Ujian Nasional (sebagai “upaya mulia” untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional), kita tak perlu “terlalu rajin menata-ulang berbagai peraturan” dan tak perlu menggunakan sedemikian banyak tenaga pengawas dan pengaman karena setiap ketidakjujuran akan mudah diketahui dan menjadi tertawaan sekaligus keprihatinan para pemilih ataupun siswa, orangtua, dan guru.
Tapi, seandainya Pinokionisasi ternyata bisa diterapkan, tanpa disadari, akan muncul juga berbagai kesulitan bagi orang lain, yaitu ruang gerak yang terbatas. Misalnya, barisan antrian akan melahirkan “masalah” karena kalau tidak menghadap miring, ke kiri atau ke kanan, hidung orang tersebut akan menonjok atau menggelitik tengkuk orang di depannya.
Terlepas dari bisa-tidak bisa atau enak-tidak enak-nya Pinokionisasi, satu hal krusial yang harus dicari jawabannya adalah di mana kita bisa menemukan (menghadirkan) seorang Gepetto. Dan seandainya ketemu, bagaimana kita merayu, mengkooptasi, atau menyogok Gepetto agar mau bekerjasama untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dan satu hal penting juga yang harus kita sadari bersama adalah bahwa kita harus tetap yakin bahwasanya kebenaran lah yang akhirnya akan menang, dan terus memperjuangkannya, walaupun kebenaran ‘melata bak siput’ sedangkan kebatilan ‘melesat laksana F-16’. Untuk itulah perlu kiranya diciptakan suatu lingkungan kultural yang memungkinkan, yang memaksa kebenaran, kebaikan, dan kejujuran keluar dari jagat persembunyiannya di dalam nurani.
Senin, 25 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar