SIPIL-MILITER INDONESIA: Sebuah Hubungan yang Kompromistis?
Mengulik pola hubungan sipil-militer kontemporer, tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin telah melahirkan lingkungan keamanan global yang buruk, yang penuh dengan “ranjau ketidakpastian” dan memperburuk hubungan sipil-militer, yaitu sipil mengalami pelemahan kontrol terhadap militer. Kondisi ini bertentangan dengan logika Harold Lasswell bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin semestinya kontrol sipil atas militer menjadi lebih kuat, karena fakta bahwa militer relatif lebih mudah dikontrol dalam lingkungan yang damai dibanding dalam lingkungan yang penuh ancaman dan tantangan perang. (Desch, 2002).
Sebagai isu yang sangat kompleks dan tidak selalu jelas, hubungan sipil-militer tidak hanya dilihat dari persoalan menyangkut konflik antara sipil dengan militer, tetapi bisa saja persoalannya menyangkut pertikaian antar sipil atau pertikaian antar militer atau bahkan konflik antar koalisi sipil-militer. Ibarat pepatah lama, “sipil tanpa militer adalah pincang, sedangkan militer tanpa sipil adalah buta”. Artinya adalah, bahwa keberadaan sipil dan militer laksana pisau bermata dua yang tak bisa dipisahkan begitu saja, ada tarik-ulur kegunaan (baca: kepentingan) yang sama sekaligus bertolak belakang.
Sekarang ini terdapat ketidakpastian yang semakin besar tentang perananan perang dan institusi militer dalam masyarakat, berasal dari sifat-sifat kontradiktif dari periode Perang Dingin sejak 1945. (Shaw: 2001). Dalam kebanyakan konsep tentang militer di masyarakat Barat, peran militer pada dasarnya untuk mendukung aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Ketika peranannya telah menyimpang jauh dari apa yang dimaksud, maka ia dianggap telah melakukan intervensi politik. (Shaw: 2001).
Mengenai hal ini, Samuel P. Huntington menyatakan secara tegas bahwa sekarang mayoritas profesional militer (praetorian societies) di Barat menerima kekuasaan sipil (civic societies) sungguh-sungguh sebagai hal yang semestinya ada. Namun ada kekhawatiran bahwa militer akan memanfaatkan peluang ketika otoritas sipil dibagi-bagi dengan cara mengadu domba (devide et impera) pihak sipil untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar. Sebaliknya, jika otoritas sipil relatif menyatu, maka kontrol sipil akan menjadi lebih mudah dilakukan. (Desch: 2002).
Bertolak belakang dengan negara maju, di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga), militer cenderung terlibat lebih besar dan kuat dalam politik nasional yang dipandang sebagai suatu kerangka pikir yang baru dan berbeda dengan Barat. Tentang keterlibatan militer di negara-negara Dunia Ketiga ini para ahli mendefinisikannya sebagai rejim militer, yang tidak lagi dianggap sebagai rejim yang hanya didominasi oleh militer, melainkan suatu “fusionis” antara rejim militer dan sipil. Jadi, rejim militer dapat diklasifikasikan sebagai hakikat hubungan antara elite dengan struktur militer dan sipil, atau hakikat sarana politis dan administratif yang dimanfaatkan dalam rejim militer untuk mencapai modernisasi dan legitimasi.
Walaupun pihak militer melibatkan diri dalam politik di negara-negara Dunia Ketiga dan dapat memberikan sumbangan dalam pembangunan masyarakat, tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Rejim militer tidak dianggap sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang alamiah, walaupun kebudayaan-kebudayaan politik yang berbeda akan menentukan hal ini secara berbeda pula. Seperti dikatakan Sundhaussen bahwa “Jika rejim militer memulihkan konsensus atau sekurang-kurangnya menjalankan hukum dan membangun institusi-institusi politis yang dapat berfungsi untuk memecahkan konflik demi maksud-maksud praktis atau hidup lebih lama dari manfaatnya, kemudian gagal mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka rejim ini kehilangan dasar keberadaan (raison d'etre), legitimasi dan kemampuannya untuk berkuasa. Terlepas dari apakah rejim militer itu gagal atau berhasil, dalam jangka panjang rejim itu dapat disingkirkan dan bahkan dapat menjadi sangat merugikan (counter productive). (Sundhaussen: 1988). Jadi sudah seharusnya rejim tersebut menarik diri sebelum masyarakat umum “mau” menerimanya lagi”.
Konsep dikotomis hubungan antara sipil dan militer di Dunia Ketiga dengan supremasi sipil di dalamnya sama sekali tidak memadai dalam rangka menjelaskan hubungan sipil-militer di Dunia Ketiga. Dengan begitu hubungan sipil-militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan doktrin militer suatu negara. Kapanpun hubungan sipil-militer akan ditentukan oleh faktor-faktor seperti, keadaan-keadaan suatu pemerintah berkuasa, hubungan dengan negara-negara lain, tingkat spesialisasi fungsional antara unsur-unsur eselon atas kaum elite yang memerintah, tingkat perselisihan fraksi dalam tubuh elite yang sedang berkuasa, tingkat birokrasi politik, sikap-sikap historis terhadap peran militer dalam kehidupan politik, struktur institusional masyarakat dan kepentingan korps militer. Berkaitan dengan hal itu, ada tiga pola yang bisa terjadi, pertama menyerahkan kekuasaannya (abdication), kedua menjadi sipil kembali (recivilianization), ketiga pola tengahan dengan menjadi semi sipil (quasi-civilianization). (Rivai Nur: 2000).
Fenomena arus demokrasi memperlihatkan bahwa strategi demokratisasi lewat penguatan masyarakat sipil (civil society) akhirnya mendapat “tempat” dalam wacana politik. Gerakan demokrasi menempatkan kekuatan masyarakat sipil sebagai kelompok yang memiliki otonomi untuk menuntut jaminan bagi HAM, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat serta keadilan, termasuk dalam masalah pembagian sumber daya ekonomi yang merata.
Sebagaimana didefinisikan oleh Heningsen, masyarakat sipil merupakan pengelompokan dari warga negara, yang dengan bebas dan egaliter mampu melakukan “wacana” dan “praksis” tentang segala hal yang berkaitan dengan permasalahan kemasyarakatan secara keseluruhan. Sementara Alfred Stepan secara sederhana mengartikan masyarakat sipil sebagai wilayah dimana terdapat gerakan sosial atau institusi nonpemerintah –seperti ormas, institusi keagamaan, kelompok perempuan dan arus intelektual-, dan organisasi profesi – seperti ahli hukum, wartawan, serikat pekerja, wirausahawan dll.- yang berjuang untuk mengimbangi negara -yang mendominasi dan mengatomisasi masyarakat- dengan membentuk diri mereka menjadi suatu kerangka bersama guna menyatakan diri dan memajukan kepentingannya. (Stepan: 1999). Jadi, dalam masyarakat sipil terdapat jaringan-jaringan ataupun kelompok-kelompok sosial yang terdiri dari keluarga ataupun organisasi-organisasi sukarela yang harus dibedakan dengan klan, suku atau jaringan-jaringan “klientelisme”, karena variabel utama di dalamnya adalah sifat publik dan sipil yang menyiratkan keharusan adanya kebebasan dan keterbukaan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan di depan umum.
Penempatan masyarakat sipil akan dapat terlaksana jika didasari oleh sebuah sistem politik yang legitimated, yang dilandasi dengan moral dan “benar-benar” memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Politik adalah “tanggung jawab” yang diekspresikan lewat “tindakan” karena ia memiliki dasar (metafisik) yang tumbuh dari kesadaran (kepastian) yang dinamakan “ingatan tentang yang ada” (the memory of being), yang bagi mereka yang beriman disebut Tuhan. Landasan tumpu etika tanggung jawab inilah yang membedakan masyarakat dengan sistem politik yang berdasar pada rasionalitas instrumental (the realm of needs and necessity) seperti sistem liberalisme maupun sosialisme. (Arif Budiman: 1997).
Drama Hubungan Sipil-Militer Indonesia
Sekarang ini, orang melihat hubungan sipil-militer tidak lagi hanya pada masalah kudeta militer atau tingkat frekuensi konflik antara sipil dan militer, tapi juga pada dominasi kontrol antara keduanya, baik sebagai definisi maupun indikatornya. Yang menjadi subyek adalah sipil dan militer yang tidak dapat dipisah baik kedudukan dan perannya. Jika dibandingkan sipil hanya mempunyai status tunggal sedangkan militer setidak-tidaknya mempunyai tiga status, yaitu status sebagai kelompok, lembaga, dan kekuatan. Setiap status dimainkan dalam peran ganda atau majemuk.
Mengenai pola hubungan sipil-militer (baca: kontrol sipil atas militer) pasca Perang Dingin, Dech mengatakan bahwa pihak sipil paling mudah mengontrol militer ketika mereka (terutama) menghadapi ancaman dari luar (internasional), dan paling sulit mengontrol militer ketika mereka (terutama) menghadapi ancaman domestik (nasional). Menurutnya, ada lima persoalan potensial dalam ketiga pendekatan hubungan sipil-militer, yaitu 1) saling bergantinya posisi strategis kedua belah pihak tergantung preferensi siapa yang lebih kuat; 2) salah satu pihak berbesar hati ‘mengalah’, mengubah pandangannya terhadap isu yang dipermasalahkan, namun bukan berarti kalah; 3) kedua belah pihak berkompromi dan saling tawar-menawar (namun seringkali menyembunyikan kemenangan dari salah satu pihak); 4) tak ada kata kompromi, penyelesaian dengan jalan pertikaian, menang atau kalah; dan 5) kontrol sipil kuat ketika preferensi sipil selalu menang. (Desch: 2002).
Hubungan sipil-militer berlangsung dari dua belah pihak dapat terjadi karena hubungan setingkat atau hirarkis. Hubungan sipil-militer ini perlu dipahami bersama dan saling mengerti posisi masing-masing sebagai prasyarat utama terciptanya negara demokratis. Karenanya masyarakat sipil perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia guna menyongsong masyarakat demokratis. Militer sudah semestinya tanggap terhadap perubahan ke arah masyarakat madani yang sesuai dengan jiwa zaman yang dengan sendirinya mengurangi campur tangannya secara gradual terhadap hak-hak sipil.
Meskipun ada sebagian kalangan yang menolak dikotomi sipil dengan militer, namun pada dataran realitas perlu dicermati variasi hubungan sipil-militer itu sendiri, termasuk yang baik maupun yang buruk. Dalam hal ini dapat juga terjadi perubahan hubungan dari setingkat ke hirarkis yang mengakibatkan subordinasi dan bahkan tereksploitasi. Disharmonisasi hubungan terjadi dan berkembang karena keduanya menjaga jarak dengan memonopoli previlegenya. Monopoli ini hanya dinikmati golongan superordinasi. Namun, hubungan semacam ini dapat dikatakan tidak wajar dan tidak imbang sebagaimana akan tampak pada hubungan sipil-militer di Indonesia selama ini. (Diamond & Flatter: 2000).
Mempelajari hubungan sipil-militer di Indonesia berarti melakukan “stock opname” terhadap sejarah militer umumnya dan sejarah hubungan sipil-militer khususnya. Pola historiografi sipil-militer Indonesia memiliki fokus sesuai dengan tekanan dan jiwa zaman yang berlaku waktu itu. Periode 1945-1949 (periode aksi), berlangsung hubungan ekual dan beranjak berubah, dimana kompetisi sipil dan militer mulai tampak dalam panggung politik Indonesia. Periode berikutnya, 1949-1959 (periode adomodasi), TNI mulai mencari jalan untuk melegitimasi prestasi di bidang pertahanan dan keamanan. Periode 1959–1965 (periode dominasi), TNI mengkongkretkan legitimasi dwifungsi ABRI, dimana fenomena historis dipakai untuk menguatkan posisi TNI untuk mendominasi sipil. Kemudian periode 1965 - 1998 (periode hegemoni), merupakan periode “militer-otoritarian” yang menciptakan ‘warldordism’ guna melakukan total control terhadap sipil meski akhirnya membawa lengsernya pemerintahan Suharto.
Setelah mengalami hubungan sipil-militer yang “menang-kalah” pada masa Orde Baru, untuk memprediksikan pola hubungan sipil-militer Indonesia yang baru akan sangat sulit. Hal ini berkaitan erat dengan dinamika internal maupun eksternal militer. Meskipun ada kemajuan, banyak kalangan menilai, perubahan di tubuh militer pasca Orde Baru hanya euforia, wujud dari respon atas tuntutan reformasi yang didesak kuat rakyat melalui mahasiswa. Perubahan di dalam tubuh militer tidak lebih sebagai perubahan simbolik karena tidak disertai dengan konsep, orientasi dan komitmen yang jelas, yang terkesan dilakukan secara tergesa-gesa dan kurang serius. Artinya, secara komprehensif perubahan tersebut belum dapat menjawab hubungan ideal sipil-militer di Indonesia. (Budi Susanto: 1995).
Bisa kita bayangkan, bagaimana mungkin momen sepenting “reformasi” –termasuk di dalamnya agenda penghapuskan dwifungsi ABRI yang tentunya dimaksudkan membatasi ruang gerak TNI dalam bidang-bidang yang pernah digelutinya dan memaksa TNI kembali ke “barak”- ternyata belum bisa menjadi ‘biduk’ yang membawa pada perubahan yang signifikan. Jangankan untuk menempatkan militer di bawah kontrol sipil, ibarat permainan catur, politisi sipil kita yang baru belajar bermain catur beberapa bulan alias masih ‘hijau’ tetapi harus menantang lawan (militer) yang pernah merajai dunia percaturan nasional. Hebatnya, di dalam pertandingan, politisi sipil yang sebenarnya kalah ‘kelas’ dan kalah ‘cerdas’, ternyata mampu men’dikte’ arah/gerak permainan lawan dan kemudian memberikan “skak-mat”. Usut punya usut, ternyata ada “kong-kalikong”, militer disuap (atau diancam?) harus mengalah dan bersedia di’obok-obok’, dengan iming-iming keleluasaan “ruang gerak” di belakang layar.
Banyak ambiguitas keberadaan militer di Indonesia, dimana militer bisa memainkan dua peran berbeda sekaligus. Di satu sisi militer sebagai alat pertahanan negara, namun di sisi lain bisa berubah menjadi alat penghancur keutuhan negara, sebagai teman sekaligus musuh, sebagai ‘penyulut’ konflik sekaligus ‘pemadam’nya, dan lainnya yang kontradiktif. Kondisi ini dilematis sekali, di tengah maraknya arus demokrasi (baca: reformasi), ternyata politisi sipil kita ‘asyik-masyuk’ dengan diri dan kelompoknya, dan lupa dengan “beban” untuk menegakkan reformasi di segala bidang, termasuk pertahanan dan keamanan.
Dalam hal ini Rivai Nur dkk. menawarkan 4 (empat) skenario kemungkinan pola hubungan sipil-militer di Indonesia ke depan. Pertama, TNI hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara. Pada skenario ini TNI diorientasikan pada penegakan kemampuan profesionalisme membangun negosiasi dengan “sipil aliran” (diindikasikan pada parpol yang berbasis aliran, seperti nasionalis, agama/Islam dan sosialis) dan koalisi dengan “social origin” (diindikasikan parpol sekuler seperti Golkar yang konservatif, pro status quo dan partai-partai lain yang moderat dan progresif – yang berada di bawah pengaruh sipil aliran) untuk tidak lagi berpijak pada paradigma dwifungsi. Adanya kesamaan visi antara sipil aliran dengan TNI profesional, dapat memberi ruang bagi TNI untuk kembali kepada fungsi utama dan menentukan arah perubahan paradigma TNI sebagai alat pertahanan negara dan “civic mission”, yaitu membantu masyarakat yang tertimpa musibah atau menyediakan fasilitas TNI dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan yang bersifat insidental.
Kedua, TNI profesional selain membangun koalisi dengan social origin. Karena masih memiliki masalah trauma politik dan pamor aktornya masih berada di bawah sipil aliran, maka dibutuhkan kerja yang rapi, seni berpolitik yang tinggi, dan koalisi dengan kekuata sipil aliran untuk bisa tampil ke depan. Jika skenario ini mengungguli skenario lainnya, maka TNI akan tetap berada di MPR.
Ketiga, TNI masih mempunyai pengaruh dan peran yang signifikan peran dalam bidang sosial, politik dan keamanan. Untuk tetap bertahan di dalam struktur politik dan sosial, maka TNI harus membangun negosiasi atau koalisi dengan social origin dan sipil aliran agar menghasilkan sinergi (karena kekuatannya berimbang) untuk sharing kekuasaan. Jika skenario ini dapat mengungguli skenario I, II dan IV, maka tidak akan membawa perubahan paradigma TNI.
Keempat, TNI Dwifungsi akan membangun koalisi baru dengan social origin (lebih menonjol dibanding sipil aliran) dan tetap mempertahankan koalisi yang lama yaitu dengan Golkar. Artinya tidak ada perubahan yang berarti kecuali kerangka retorika politik dan TNI tetap mempertahankan status quo-nya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan. (Samego: 2000).
Dari keempat skenario di atas, tampaknya masih belum bisa diprediksikan dengan jelas pola yang pas untuk menempatkan hubungan sipil-militer di Indonesia. Artinya, dari keempat skenario tersebut, masing-masing memiliki kans yang sama besar untuk digunakan. Kadang-kadang dipakai yang pertama, terus yang kedua, ketiga atau yang keempat, dan ini terus bergulir sesuai kebutuhan (baca: kepentingan) para politisi maupun pihak militer.
Selama perjalanan panjang hubungan sipil-militer Indonesia, banyak hal yang bisa dilihat sebagai kapasitas dari masing-masing pihak. Untuk itu dikedepankan 3 kasus krusial yang pernah dan masih menjadi “bulan-bulanan” banyak kalangan.
Pertama, mengenai RUU TNI Pasal 19 yang memberi kewenangan khusus (unilateral) pada pimpinan TNI untuk mengerahkan pasukan ketika ia menilai negara dalam keadaan terancam dan melaporkannya kepada presiden dalam waktu 24 jam. Hal ini dikhawatirkan banyak kalangan akan menghambat upaya reformasi karena akan digunakan sebagai alat mempertahankan status quo militer.
Para analis melihat bahwa hal tersebut menandakan munculnya kembali sifat oportunistik militer berkaitan sejumlah peristiwa, yaitu antara lain tekanan internasional menyusul peristiwa pemboman gedung kembar WTC oleh teroris 11 September 2001; pemboman di Bali tahun 2002 lalu yang mengalihkan perhatian pada domestic security; dan ke’taktega’an (berat hatinya) parlemen Indonesia mendepak militer dalam persaingan menuju Pemilu 2004. Sekali lagi, lemahnya supremasi sipil inilah yang diperkirakan memunculkan keberanian militer untuk bisa mengasah taringnya kembali. Bahkan mantan Menhankam Yuwono Sudarsono mengatakan bahwa “memble”nya supremasi sipil dan menjadikannya tak bermakna adalah ke”tidakmacho”an politisi sipil Indonesia ditambah masih melekatnya mental ‘pretorian-guard’ di kalangan korps perwira militer. Bahkan ada juga spekulasi bahwa pasal 19 merupakan langkah kontijensi (contingency measure) militer jika Pemilu 2004 gagal menghasilkan pemerintahan yang “mumpuni”.
Kedua, mengenai kebijakan Presiden Megawati melakukan kesepakatan imbal dagang pesawat militer yang dilakukan oleh Presiden Megawati dengan pemerintah Rusia. Pembelian pesawat tersebut dilakukan karena pesawat tempur milik AU sudah tua, sehingga tidak lagi efektif dan efisien dalam melakukan tugas pertahanan negara.
Hal ini juga menimbulkan banyak kritikan dari banyak pihak yang mempertanyakan kebijakan presiden tersebut yang dianggap tidak memiliki nilai kepekaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan skala prioritas kepentingan. Bagaimana tidak, di saat perekonomian Indonesia yang masih carut-marut, presiden malah membuang-buang dana negara untuk sesuatu yang tingkat urgensinya tidak terlalu signifikan. Bisa dibayangkan, untuk pembayaran 2 Su-27 Flanker, 2 Su-30KI dan 2 Combat Helikopter M135 –yang dibeli melalui perusahaan Rusia ‘Rosoboronoexport’- adalah cash sebesar 12,5 % dari 170 juta dolar AS sebagai uang muka dan sisanya 87,5 % dengan eksport komoditi karet, winyak sawit mentah (CPO), tekstil dan cokelat selama 16 bulan.
Tidak hanya dari kalangan sipil, kalangan militerpun mempertanyakan kebijakan yang mereka anggap tidak konstitusional tersebut. Menurut mereka, dalam UU Tentang Pertahanan dijelaskan prosedur dimana sebelum keputusan diambil seharusnya pihak militer dilibatkan atau minimal ditanya. Secara “lugu”pun kita menduga-duga apakah ‘kritik’ tersebut adalah ungkapan “jujur” ataukah ekspresi kegirangan -yang disamarkan- karena mendapat “mainan baru”. Paling tidak kita bisa tahu sejauh mana politisi sipil kita bisa “tega” melihat taring militer yang mulai tumpul.
Ketiga, mengenai Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Status Darurat Militer di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam NAD, yaitu pelaksanaan “operasi terpadu” di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Praktis sejak diberlakukan keppres tersebut pada tanggal 19 Mei 2003, keseluruhan wilayah NAD diliputi suasana perang.
Sejak sebelumnya, banyak kalangan menyangsikan efektifitas dan efisiensi pemberlakuan Keppres yang sempat ‘tersimpan’ di dalam map presiden tersebut. Kekhawatiran terhadap keterlibatan militer dalam operasi tiga serangkai tersebut terus berlanjut sampai saat ini, yaitu, militer akan terlibat terlalu jauh dan menjadi semakin enggan melepaskan peran non-tempur yang relatif secara ekonomis lebih menjanjikan sehingga mengabaikan misi utamanya, yaitu pertahanan.
Kenyataannya, baru beberapa hari berjalan, sudah sedemikian banyak korban yang berjatuhan, mati ataupun luka khususnya dari kalangan masyarakat sipil, begitu juga kerusakan fasilitas-fasilitas umum.. Anak-anak sekolah menjadi terlantar, tidak bisa belajar dan mengikuti ujian akhir karena tidak gedung sekolah tempat mereka menuntut ilmu telah dibakar oleh sekelompok orang tak dikenal. Keterlambatan antisipasi dari pemerintah darurat militer di NAD ini banyak menuai pertanyaan dan keprihatinan dari banyak kalangan. Bagaimana mungkin tempat-tempat sepenting gedung sekolah tidak diperhatikan? Bagaimana dengan nasib pendidikan anak-anak sekolah yang menjadi terlantar? Bagaimana sih pemerintah? Bagaimana sih TNI?
Kesiapan dan keseriusan pemerintah pusat terhadap kebijakan operasi terpadu ternyata masih sebatas janji, karena kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Bukan hanya itu, trauma terhadap pelanggaran HAM oleh aparat TNI juga menjadi momok semua kalangan, utamanya dikaitkan dengan kebijakan penerapan DOM pada masa Orde Baru. Sementara pihak TNI mengatakan bahwa sebelum berangkat ke Aceh semua personil TNI telah ditempa, dikarantina, dan dicekoki aturan-aturan operasi, termasuk di dalamnya mengenai HAM, bahkan setiap prajurit dibekali buku saku HAM. Apakah itu cukup? Ternyata jauh panggang dari api.
Selama pelaksanaan darurat militer di Aceh, tercatat beberapa kali pelanggaran dilakukan oleh prajurit TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga sipil. Pihak TNI, atas desakan dari berbagai kalangan dan upaya “ja-im” (jaga imej), kemudian melakukan proses hukum terhadap prajurit yang bersangkutan. Walaupun telah diputuskan hukum atas pelaku, namun masih kuat ketakutan akan hal-hal seperti itu. Misalnya, “himbauan” terhadap pers dalam peliputannya agar dalam kerangka keutuhan NKRI.
Bukan hanya itu saja, keberadaan Komnas HAM menjadi permasalahan tersendiri bagi militer (TNI). Beberapa temuan Komnas HAM terhadap pelanggaran oleh pihak TNI dibantah secara “emosional” oleh petinggi TNI (dalam hal ini Penguasa darurat militer dan jajaran perwira TNI), seperti misalnya adanya pembentukan milisi rakyat maupun kuburan massal semasa DOM.
Dengan pemberlakuan darurat militer, bisa kita lihat dan pastikan dimana posisi sipil, dimana posisi militer. Sepertinya operasi di Aceh dijadikan oleh militer/TNI sebagai ajang unjuk praktek hasil pendidikan dan pelatihan mereka, dimana mereka harus menghadapi situsi yang dilematis yaitu melawan strategi gerilya yang selama ini menjadi kebanggaan TNI. Dengan perkiraan waktu 3 bulan dan “mungkin” diperpanjang, tentunya biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, sementara Indonesia berencana mengakhiri hubungan dengan IMF. Lalu dana dari mana yang dipakai? Apakah rakyat harus lebih mengencangkan ikat pinggangnya untuk hobi para pemimpin politik dan pemimpin militer? Bagaimana dengan agenda reformasi yang semakin tercecer? Dimana ke’peka’an para tokoh yang katanya wakil rakyat, namun ternyata hanya bisa bernyanyi?
Melihat situasi seperti itu, dapat kita perkirakan seperti apa hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya pasca Orde Baru. Setelah sedikit demi sedikit diberangus pada masa pemerintahan B.J. Habibie, kemudian mulai dikebiri pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), lalu diajak bersanding kembali pada masa pemerintahan Megawati. Megawati yang sejak awal diragukan banyak kalangan –salah satunya karena ia terlalu teguh dengan “silent is gold”nya- akan mampu membawa perubahan pada pencapaian nilai-nilai reformasi. Tidak hanya kapasitasnya sebagai pemimpin yang tidak mampu menunjukka nilai-nilai supremasi sipil, tapi celah-celah yang dibuatnya untuk dimanfaatkan oleh militer telah meretakkan kembali kaca mata demokasi bangsa yang baru dicetak.
Ketaktegaan politisi sipil terhadap militer yang didasari oleh kepentingan untuk mempertahankan status quonya membuat mereka berlomba menawarkan “proposal kompromi” kepada pihak militer. Terlebih berkaitan dengan konstelasi politik nasional menjelang Pemilu 2004, sepertinya kalangan parpol tidak mau mengambil resiko berkonfrontasi dengan militer. Mereka berebut simpati dari kalangan militer yang dianggap masih memiliki kharisma untuk melanggengkan upaya mereka berbagi “kue” kekuasaan politik. Jadi hasil akhir seperti apakah yang bisa kita raih pasca Pemilu 2004 terhadap hubungan sipil-militer, “apakah bisa happy ending ataukah tetap seperti biasanya? Lagi-lagi sad ending.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred Stepan, (terj. Bambang Cipto), Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain, Jakarta, Pustaka Utama Grafitti, 1999
Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Jakarta, Gramedia, 1997
Harian Umum KOMPAS
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1996
Indria Samego, Et. Al., Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, Jakarta, Mizan, 1998
Jeff Haynes, (terj. P. Soemitro), Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga: Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000
John McBeth, “The Army Plays Power Politics” dalam Far Eastern Economic Review, Jakarta, March 27, 2003
Nugroho Notosusanto, Hubungan Sipil-Militer dan Dwifungsi ABRI, Jakarta, Dephankam Pusjarah ABRI, 1974
----------, Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, Jakarta, Sinar Harapan, 1991
Martin Shaw, Bebas Dari Militer: Analisis Sosiologis atas Kecenderungan Masyarakat Modern, Yogyakarta, Pustaka Pelajat – INSIST, 2001
Michael C. Desch, Politisi Sipil vs Jenderal: Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002
M. Karjadi, Polisi: Filsafat dan Perkembangan Hukumnya, Bogor, Politeia, 1978
M. Najib Azca, Hegemoni Tentara, Yogyakarta, LKiS, 1998
Robert A. Dahl, (terj. A. Rahman Zainuddin), Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001
Rivai Nur dkk., Saatnya Militer Keluar dari Kancah Politik, Jakarta, PSPK, 2000
Samuel P. Huntington, “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer ” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta, Rajawali Press, 2000
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta, LP3ES, 1988 (Cet. II)
Selasa, 26 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar