Kamis, 14 November 2019

Semilir angin utara Bawa kabar tentangmu Yang termangu di beranda Menunggu burung yang tak jua bertamu Dalam termangumu kau merenung Menyalangkan mata bak tukang tenung Menyorot tajam jauh ke ujung Mengusik rehat sekumpulan burung Kau pergi, tiba-tiba Tanpa permisi, menjelang senja Berjalanmu menyongsong rembulan Bak seekor pungguk yang kesorean Malam sepi melarutkan khayal Pikiran pun seketika majal Enggan dengarkan sang pungguk liar Yang tanpa jeda berkoar-koar
Cantikmu Cantikmu gelorakan rasaku Dan pesonamu hadirkan rindu Cantikmu buai anganku Dan pesonamu terus hantui pikiranku Tapi cantikmu menyakitkanku Sebab banyak mata merebutmu dari perhatianku Pesonamu juga menyiksaku Sebab pergimu selalu tiba-tiba (Yk, 14.07.17)
Ikhbar semesta Kita bukanlah cenayang yang cerabih dan lengit dalam khianat Bukan pula campiang bengah yang bagal dan penuh kasam Ataupun anak bulan yang madar dan kerap berkeriau tanpa sebab Yang bersuatu merancang maharana Kitalah citraleka yang bergas, yang Mencipa bidal tentang kedatuan Yang menatah heroglif dan mengibarkan Liwa di sudut-sudut lelangon Meski gabir, kita tak cuak Karena tak setetes pun dawat bersibar di Boci dan burdah yang lusuh Kita tidaklah bercelatuk tentang cilap Purnama sebagai gurur Tidak pula tentang bidari yang larat dalam kasmaran Kita hanyalah beritawan tentang kisah Sang Kadim Sang Pemilik kadar sejati Melingkislah dan rapatkan malefamu Genggam erat-erat manikam yang tersisa Berjalanlah dengan memanggungkan kepala Agar mereka tahu bahwa kitalah mahajana Para Penjaga Marwah Bintangan (BN, 03.07.19)
Aku rasa 

Aku ingin ada di sana 
Meskipun dengan keberanian yang tinggal separuh 
Senyummu yang tak pernah putus 
Mengagumkan 
Tumbuh beranak-pinak 
Entahlah… 
Mungkin semacam ekstase 
Hingga berulang kali ku terjerembab 
Di sana 

Kau tak perlu keliahatan cantik 
Atau berbaju rapi dan bagus 
Apalagi harum wewangi 
Kau hanya cukup melihat dan mendengar 
Usah hirauan kicauku, karena 
Aku bukan apa-apa di sana 
Tapi kuharap kau tetap di sana 
Meski hanya kan kautemukan 
Pandora yang usang
Kirana sang cempiang Menunggu pagi tidaklah mudah Merayapkan sepi dalam sendiri Detik menuju menit Senyap dalam lelap Perlahan jiwa-jiwa pengabdi tergugah Simpuhkan diri dalam khusyuk yang dalam Hening dalam sujud Berserah tanpa menuntut Pagi menjelang Kirana menyapa dri timur Bentangkan dunia dalam terang Sajikan asa tak terhingga Sebelum pagi beranjak Para pengabdi pun bertebaran Ke segenap penjuru Menjaring cahya dan jutaan misteri Ilahi Yang menjelmakannya Sang Cempiang Yang diberkati (Pkp, 03.07.19)
Sosoknya menghilang Tetapi aku masih ada Berdiam dalam senyap Getar-getar di hatiku teredam Oleh kesendirian Karena sosok yang kukenal Menghilang sedikit demi sedikit Karena apa Aku pun tak punya jawaban Andaikan aku sebatang pohon yang rindang Andaikan aku sebutir buah yang matang Andaikan aku seekor burung Andaikan aku punya keberanian Mungkin semua terhindari
Nadamu “Do-re-mi”-mu melangutkanku dalam angan “Fa-sol”-mu terbangkan khayalku membumbung kea wan “La”-mu tenggelamkan hasratku dalam samudera asmara “Do”-mu kembalikan kesadaranku bahwa Dirimu nun jauh di sana Dan sepertinya sulit tuk diraih Kecuali nada-nada indah yang mengalunkan janji (BN, 28.06.19)
Di sini saja “Di sini saja,” katamu “Tak perlu dibawa masuk, hanya kan memenuhi ruang hati yang sengaja dibiarkan kosong” “Di sini saja,” tegasmu “Usah ke sana ke sini karena hanya kan menyibukkan hati tuk rasa yang tak lagi berbentuk” “Di sini saja,” hardikmu “Biarkan waktu tertinggal dalam kenangan dan terkubur dalam tumpukan foto usang di saku celana” (BN, 30.06.19)
Senja terseok di ufuk Mengais-ngais sisa semburat metari Selalu begitu Hari berganti Bulan menjadi tahun yang kian banyak Hingga tak terhitung lagi di jemarimu Ia begitu setia Tanpa keluh kesah Hanya menjalani kodrat yang ia sendiri tak tahu Apakah itu takdirnya Tapi ia berpantang untuk Bergeming sedikit pun sekadar melepas penat Yang ta berujung pangkal Pengabdian tiada akhir (Pkp, 28.06.19)
Diam-diam Diam-diam kauamati Segala sesuatu yang Melayangkan anganmu Akan apa pun yang Tak kautemui Lagi Ia tak sengaja tersentuh Pandangan yang menyorot tajam Ke berbagai arah, Acak dan tak terkendali Tapi mampu hadirkan getar yang Menggidikkan keberanian Untuk mulai mencoba Melakukan yang kan Membuatmu larut Dalam imaji bisu (Pkp, 28.06.19)
Menjemput senyum Kemarin Dan banyak kemarin lainnya Tak sedikit pun keluh yang terucap Tak jua kesah terpancar Meski karut perjalanan terus mengiringi Hari ini Tumpukan rindu menggenap Menjelmakan candu akan seulas senyum Yang tak henti membayangi mimpi-mimpi malam Yang kini muncul tanpa batas ruang dan waktu: pagi hingga senja Esok Kan kujemput senyum itu Meskipun khayali Agar kekal bersemayam dalam ingatan, rasa, dan lakon cinta Sepanjang abad kisah awal dan akhir semesta Tunggu aku Lenakan aku Dengan untaian senyum bidarimu (Pkp, 26.06.19)
Menahan rasa yang tak pernah tandas meski terik mentari mengisapmya tanpa jeda Ia yang tak terjamah dalam sendiri Meski berpuluh hati meruangkan separuh rasa Namun tak satu pun yang mampu Menyuguhkan desir yang melenakan Yang sanggup membawanya dalam ekstase Cinta sejati Rasa it uterus mengendap dalam penantian Tak terusik riuh celoteh para pengharap Yang terbiasa tertolak Terlatih patah hati dan gagal bercinta Ia bukannya tak pernah berharap Bukan pula menutup rapat-rapat pintu hati sepanjang usia melainkan tengah menata peraduan terindah bagi Sang Kekasih yang kan hadir tuk menyatukan potongan hati mereka di altar penghulu dan mengucap janji-janji suci tentang rasa tentang keinginan tentang mimpi dalam mahligai samawa sembari celotehkan kisah tentang perjuangan menahan rasa agar tak tandas meski terik mentari kerap menggoda Ia yang senantiasa terjaga (Pkp, 26.06.19)
Kau yang tak seharusya berada dalam kebimbangan memilih bicara atau diam Di sudut pos satpam kantor megah itu kau berdiri Tidak tegak dan sedikit membungkuk Muka kusammu begitu kuyu Tatap matamu pun Nampak kosong Aku yakin kau di situ sudah begitu lama Menunggu antrean panjang tak berjeda Berharap namamu disebut dan kau pun bisa segera menikmati dinginnya ruang kantor ber-AC Lalu menjawab setumpuk pertanyaan dengan gairah membara Apa daya, kau berada di urutan paling belakang Posisi yang tak mengasyikkan bagi siapa pun Teronggok menanti giliran yang entah kapan kaudapat Pelan-pelan kau kudekati Mencoba sedikit berempati Dengan sedikit pertayaan basa-basi Membuka obrolan yang entah penting atau tidak Tapi kau terus diam Tanpa ekspresi Tanpa hasrat tuk menyambut kehadiranku Tapi matamu sorotkan kekagetan dan kebingungan Entara atas apa Dan kau pun berlalu tanpa permisi (Pkp, 20.06.19)
“jangan sapa aku lagi,” katamu “Karena aku tak ingin sapamu membuahkan rasa” “Buang segala rasamu agar tak hadirkan rindu,” ujarmu “Dan jangan lagi menyemai rindu agar tak menyemakkan asmara” Tapi aku tak bisa ikuti maumu Karena aku kedanan Dan ingin terus terbuai dalam kasmaran Meski tak kauijinkan Jangan kaupaksa ia berhenti Sebab rasa, hasrat, dan rinduku tanpa syarat Meski tak kauhendaki (Pkp, 17.06.19)
Hanya Rindu Malam tadi Hujan mendera tanpa pertanda Silih berganti tetesnya menghujam Kesunyianku Di sudut beranda kesendirian Meski mendung tak begitu pekat Dan rembulan enggan muncul sejak malam menjelang Tapi temaram lampu jalan mampu hadirkan Baying senyummu Dan itu sudah cukup bagiku Sekadar mengurai rindu Tiba-tba semilir angina menyayat imajiku Embusannya yang pelan membisikkan janji lama Tentang rasa yang mesti dijaga Tentang hasrat yang harus dirawat Tentang rindu yang tak boleh membeku Meski hanya rindu yang tersisa Jangan pernah kubur ia dalam kenangan Katamu lirih di telingaku (Pkp, 16.06.19)
Pesan yang Hilang Inginku membenci Kamu yang tak pernah lelah bertanya “Sudah makan belum?” Tapi ada rasa yang hilang Ketika suatu saat kalimat itu tak kubaca Dan ada rindu yang menggebu Ketika saat itu tak kuterima pesan Singkatmu yang meneror Benciku tak lagi terawatt baik Pelan-pelan layu dan mongering Dalam benih-benih asmara yang menyemak Seiring pesan-pesanmu yang kian langka Aku pun nelangsa
Ketika kaki tak letih menderapkan langkah tuk menjemput rasa Ingatkah wahai Kala kerinduan kita hadir di tengah malam itu, Yang memaksa kita menikmati ekstase insomnia Hingga fajar menyingsing? Ya, kita Berpacu dalam merangkai kata Mengabaran hasrat tuk segera berjumpa Meski kita sama-sama sadar bahwa Ruang dan waktu enggan, tak mudah ditaklukkan Ya, jarak adalah ilusi Waktu pun tak tawarkan solusi Tapi kita mesti sabar menanti Sambal memupuk rasa tanpa henti Dan janji kita Derap langkah kan mengayun bersama Tuk menjemput rasa yang kian mengental Pada suatu ketika Bersama Selamanya
Jangan tatap mataku Katamu Sebab ada selaksa do’a lama Yang mengendap dalam kerinduan panjang Aku takut Bisikmu Ia akan menjelma hasrat tak terperi Hingga kita lupa akan hakikat rasa, cinta Dan pengorbanan
Kabar darimu Tunggu aku Bisikmu Kan kubawa segenap rindu Janjimu Pada malam-malam penuh peluh Berabad-abad mendatang Menjalin rasa Kita: kau dan aku Hngga akhir usia
Salam Salamku bukan salam terakhir Yang menyapa sambal lalu Tanpa meninggalkan jejak perkenalan Dengan sesiapa Salamku bukan salam sekadar Yang terucap dalam igauan senja Tanpa menggoreskan bait di ufuk jingga Hingga malam menjelang Salamku bukan salam semesta Yang membahanakan keriuhan belantara Tapa iringan hujan Yang merintik tanpa jeda Salamku salam takzim Pada sekalian kisanak dan nisanak Semoga menjadi pintu Menuju kebersamaan
Tiga dalam namamua Empat dalam bahteramu Hidup dan mati berpadu dalam cengkerama Kata Berpuluh tahun sudah kulepas Berpuluh tahun sudah sosokmu Menggelayut dalam ingatan Meski dengan tampakan yang tak lagi kukenali Namun rasa itu masih tetap bersemayam Dalam dada membaraan kebanggaan Tiga itu: SKI, BSA Empat itu: ADAB, IAIN SUKA-ku takkan lekang diterpa zaman
Entah Mimpiku Tentang bidari Tepian hulu kali bebeng Sosok nan menyiksa ingatan Hingga majal dan sulit diasah kembali Meski beragam metode hipnoterapi Kaulayankan Kisah itu tersurat jelas Dalam imaji yang Terangkai dalam bersampan-sampan kata Tapi apatah maujud Sehingga sesiapa pun mampu Melukiskan parasnya yang elok bak Purnama bulan ketujuh? Siapa dan bilamasa itu menjelma Aku hanya mampu berbatin Entah engkau
Tentang kamu yang berketetapan menunggu Kamu, Ya kamu Yang tak henti menjadianku candu bahagia Yang hadirkan terang usir nestapa Yang nantikan jutaan rindu di tiap malam Kabar bagimu Yang menunggu jutaan harap Menyambut bahagia Yang kaukira aku ciptakan Puaskan Sang Putri? Menjumput harap dan memintaku singgah Menyusunkan asa Menyeka luka menganga Dan menganggapku adaah penawarya Bahagiamu tak sekejap pun kurenggut Nestapamu tak kuciptakan saat kepergianku Pun ruang renjana hanyalah kertas kosong Tuk menggores kisah kasih Tak perlu ungkapkan terima kasih Usahlah pua lantunkan do’a Atas sesuatu yang tak pernah kuberi Karena hanya kan menahanmu Dalam keguliataan tanpa usai
Aku tahu engkau Sebenarnya tahu Tapi seolah engkau Tak tahu Bahwasanya auramu Sahaja dan luar biasa Meskiku bukan bintang di langit Tapi rindumu Yang terpanik
Rinduku adinda Pada tatapmu Yang binar Pada kerlingmu Yang liar Pada senyummu Yang binal Pada misikmu Yang manja Pada gerai rambutmu Yang hitam Pada genggammu Yang lembut Pada dekapmu Yang hangat Pada semua Yang ada padamu
Dalam hitam Gelap malam Tak kulihat sesuatu pun Hanya ada sekelebat bayangan Di pucuk pohon cemara Dan kutilang pun bernyanyi Besiul-siul Tak henti Gelengkan kepala Hingga fajar tiba
Apa sih C.I.N.T.A.? Konon kata nisanak dan kisanak Dari negeri antah-berantah Adalah mantera Puji dan puja Tentang rasa Dua atau lebih jiwa Mengandung dilema Antara suka dan duka Suka ketiga rasa bersambung rasa Duka ketika beda kepercayaan Satu percaya dia suka dan cinta Satunya lagi tidak yakin dengan si dia Cinta adalah cita Cinta juga luka
Kita tak sedang pertaruhkan, hati di meja judi Kita sedang merangkai, rasa dengan deretan kata Kita pun tak hendak membuai, diri dengan imaji Kita hanya mencoba, ihtiarkan diri Gapai ikhlas dan ridho Ilahi
Usah pula kau galau Bila tak hendak menjadi igau Dalam mimpi yang tak bertepi Tanpa imaji Usah lagi larut dalam galau Bila tak hendak terhalau Oleh rasa yang tak pernah menjadi Pengikat antarhati
Jangan rindu Bila kaurasa berat Cukup rasakan debar jantungmu Yang bergemuruh hebat Jangan merindu Bila kau tak siap menunggu Cukup liarkan senyummu Kala berjumpa
Malam minggu Tanpamu Bukanlah kesalahan Bukan pula kutukan Malam minggu Tanpamu Tak hadirkan haru Tak jua buatku layu Malam minggu Tanpamu Hal biasa bagiku Dan semua tak harus tahu
Kau bukan bapak yang besarkanku atau ibu yang lahirkanku Tapi kau layaknya mereka bagiku Kasih-sayang kaucurahkan maka, biarkan kugoreskan kuas dan kulukiskan sosokmu Dan kan kubingkai dalam cahaya aksara Dirimu Telah buatku sebagaimana adanya Kini Terima kasih tak terperi Untukmu para guru Nan abadi sepanjang waktu
Aku takkan merindu Tanpa sebab Meski tiada jumpa Do’a santun nan mesraku Senantiasa terucap Kita saling menatap di kejauhan Terus bergerak laksana kapas diterbangkan angin Dan bertemu di alam maya Meski ada setumpuk rasa ingin Tuk bersua dalam realita Tapi apalah daya Wahai Mampuku hanya sebatas menyapa Lewat aksara yang terangkai Oleh jemari dan jiwa Oh semesta Langitkanlah harapanku yang sahaja Bagi mereka, para penghuni masa lalu Yang masih terus bermukim di benak dan hatiku Resonansikanlah percakapan bisu Dalam ruang qalbu
Aku suka kamu Kamu suka dia Dia suka temanku Temanku suka temanmu Temanku suka temannya Aku Kamu Dia Temanku Temanmu Temannya Saling suka Tapi tak pernah bersama
Hitam-hitam kereta api Dalam diam mengamati Dan menanti Apa yang kan terjadi Di sini Malam terus beranjak Jemarimu tak jua bergerak Tuk sekadar menyapa Handai taulan yang ada Di dunia maya Aku tak hendak menebak Dengan keping logam lima ratus perak Ataupun dadu Karena Kutak tahu Tentang rindumu
Jangan paksa henti rasaku Jangan intimidasi pikiranku Untuk tidak memikirkanmu Saat ini, sebab Ada “yang lain” Dan itu bukan kamu, kamu, dan kamu
Wahai sobat Sebangsa tanah dan sebangsa air Adakah kita ingat Bahwasanya kita telah banyak berpikir Tentang apa pun Kapan pun Di mana pun Adakah yang engkau pikirkan Adakah yang aku pikirkan Sama? Jangan diam Bicaralah (Tulis maksudnya guys-red.) Iya atau tidak Itu saja
Kita tak pernah menghitung laba Atas tawa dan canda sekian lama Mengalir apa adanya tanpa rekayasa Hingga kamu, kamu, dan kamu menjelma renta Kita hanya sekadar menjaga Rasa yang sejak dulu ada Larut dalam suka dan duka Campur aduk penuh makna Kita tak pernah mengira Ada masa yang lambungkan asa Meski tak sempat bersua Kecuali di dunia maya Selamat malam para nisanak dan kisanak Lelapkan imaji yang beranak-pinak Dalam buai mimpi dini hari Hingga terjaga esok pagi
Kita sedang menjemput senja Menapaki jalan kelana Bersenandungkan irama jiwa Menorehkan guratan makna Senja kita wahai Kan selalu tiba Lalu usai Seiring temaram melanda Rembulan pun terkadang Hadir tak dinyana Cahyakan semesta pandang Kala menjelma purnama Malam tak berjalan lambat Meski terasa melata Hanya kita yang belum dapat Rasakan hakikat sebagai pengada Esok, senja kan kembali Menyapa jutaan hati Dalam khidmat qalbu Sebelum tibanya waktu
Kita tak sedang melukis rindu dengan angan Pun tak merangkai aksara dengan tinta biasa Darinya aku mengerti tentang elegi Dengannya aku bisa saling mengasihi Ruang dan waktu hanya penanda bahwa kita terpisah, sementara Tuk melangitkan tumpukan rindu Sebanyak yang kita mampu
Jangan rindu, berat Cukup sedikit kangen Sebab kalau banyak, gawat Tak ada yang pengen