MENGAPA BERTEMAN? (Sisi Lain Konflik ala Aristoteles dan Paul Ricour)
Sungguh bukanlah pertanyaan yang mengasyikkan untuk ditanyakan ataupun dijawab. Bisa iya dan bisa juga tidak, tergantung apa kebutuhan dan apa kepentingan atas pertanyaan tersebut. Dan jika pun hendak dijawab, maka akan sangat beragam jawaban dari banyak orang.
Adalah situasi dan kondisi kehidupan sosial saat ini yang mengharuskan kita untuk merenung sejenak kemudian merefleksikan kembali pertanyaan sederhana tersebut. Dan jika kita mau jujur, maka akan kelihatan bahwasanya makna pertemanan telah dieksploitasi dan dikebiri secara semena-mena. Pertemanan menjadi tak lebih sekedar formalitas berbagai kepentingan dalam sebuah hubungan antarmanusia. Inilah mengapa sejak awal, Aristoteles yang dikenal sebagai peletak pondasi pertama dalam bidang logika, telah mencermati masalah pertemanan ini, dan permasalahan ini dikupasnya secara rinci dalam salah satu karya agungnya, Nicomachean Etchics.
Jika dicermati, perhatian serius Aristoteles ini tentunya tak lepas dari pemikirannya yang bersifat teleologis (keterarahan pada tujuan/telos) dan merupakan suatu etika keutamaan (sikap moral). Dalam pandangannya, hidup merupakan suatu keutamaan perilaku yang dijalankan manusia bersangkutan dengan sadar serta bebas karena itu menyempurnakan dia sebagai manusia dan membuat dia mencapai tahap unggul di bidang moral. Dengan demikian, manusia bisa mencapai taraf yang disebutnya dengan eudaimonia (daimon: mempunyai jiwa, eu: dalam keadaan baik) atau kebahagiaan yang sebenarnya; well-being, obyektif, bukan happiness yang subyektif. Salah satu jalan untuk bisa mencapai taraf tersebut adalah melalui persahabatan karena persahabatan merupakan bagian dari hakikat manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada manusia lain. Jadi, untuk bisa hidup bersama secara harmonis masing-masing memiliki keinginan dan kepentingan untuk berteman.
Aristoteles sendiri memandang kecenderungan ini lebih sebagai sikap intelek daripada pertimbangan moral, karena baginya persahabatan merupakan suatu keutamaan atau paling sedikit berhubungan erat dengan keutamaan, apalagi sangat perlu untuk kehidupan seorang manusia. Karenanya, Aristoteles melihat bahwa pada dasarnya ada tiga alasan pokok mengapa dua orang atau lebih bisa berteman, di luar faktor adanya kesamaan, kemiripan, atau kesepadanan. Pertama, karena orang tersebut (yang dianggap sebagai teman) memiliki nilai guna atau bermanfaat (useful); kedua, karena orang tersebut menyenangkan (pleasant); dan ketiga, karena orang tersebut baik atau memiliki kebaikan dan berniat baik (good/goodwill).
Untuk yang pertama dan kedua, disebutnya cenderung bersifat sementara dan tidak awet. Pertemanan terjalin karena adanya pertimbangan “untung-rugi” sehingga ada peluang untuk mendapatkan sesuatu kepentingan, diri atau kelompok dari teman, baik materi maupun non-materi seperti perasaan senang dan gembira. Namun, ketika useful dan pleasant-nya tidak ada lagi pada diri teman, maka akan dengan mudahnya ikatan pertemanan terputus. Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang”. Karena itu, dari ketiganya, Aristoteles menilai yang sebenar-benarnya “sejati” adalah yang ketiga karena di sana ada “hubungan mutualis” yang positif dan membangun antara dua atau lebih orang yang berteman. Masing-masing individu berusaha melakukan apapun yang terbaik demi kebaikan yang lain tanpa berharap pamrih, ibarat sepotong lilin yang terus memancarkan cahayanya sampai ia sendiri leleh terbakar api.
Jika dikaitkan dengan fenomena konflik yang banyak terjadi --dalam pengertian secara luas, pertentangan, pertikaian, perbedaan pendapat, peperangan, dsb., yang tidak hanya sebagai sesuatu yang mengandung kekerasan (meskipun unsur-unsur kekerasan inilah yang banyak mewarnai)-- setidaknya dapat tergambar bagi kita mengapa hal tersebut terus terjadi. Ketika masing-masing individu mampu saling memahami, saling menghormati, saling melengkapi kekurangan, dan saling menjaga agar apa yang ada pada diri teman (useful dan pleasant) tidak hilang, untuk kemudian bersama-sama berusaha mencapai ranah ketiga, yaitu kerelaan untuk saling berkorban demi kebaikan teman tanpa berharap balasan, maka perdamaian sebagai cita-cita bersama akan tercipta. Namun sebaliknya, ketika hal tersebut tidak mampu dipertahankan, akhirnya ego yang menjadi pemain utama, masing-masing individu lebih mementingkan diri sendiri dengan pertimbangan “untung-rugi”nya, sehingga perselisihan atau konflik (kekerasan) lah yang secara terang-terangan merobek-robek jaring perdamaian yang sebelumnya telah terajut.
Selanjutnya, Paul Ricour (dalam Oneself as Another), yang berangkat dari pemikiran Aristoteles juga, mengajak secara lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan “mengapa orang berteman?” Di sini Ricour menjelaskan melalui pandangannya tentang self yang menurutnya harus dilihat secara keseluruhan, karena self bukanlah kedirian yang egoistik (diriku atau dirimu), melainkan ada dalam potensi dan aktualitas manusia. Di sinilah pertemanan diperlukan sebagai perantara dari dualitas manusia tersebut, yakni potensi dan aktualitas. Karenanya, dengan tegas ia menentang pandangan cogito ergo sum-nya Kartezian, sebab dianggapnya terlalu kasar dan sepihak, hanya mencerminkan sebagian dari diri manusia. Berteman menurutnya bukan lagi keinginan melainkan ada (inherent) dalam diri manusia, karena antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak terpisahkan, “aku bukanlah aku pribadi, aku adalah kamu, kamu adalah dia, dan dia merupakan penjelmaanku juga”.
Sebagai filsuf Etika, Ricour memandang perdamaian sebagai sebuah proses yang harus dijalani dan diperjuangkan bersama. Ada tiga hal yang menjadi pokok pandangannya tersebut. Pertama, aiming at the good life. Situasi ini bertitik-tolak dalam kehidupan keseharian atau pengalaman hidup manusia (praksis). Living well atau true life ini bisa dikatakan mirip atau sama dengan good-nya Aristoteles.
Kedua, with and for others. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah “siapa saja others-nya, dan apa yang akan terjadi jika others tidak bisa menjalankan fungsinya?” Others di sini bisa siapa saja, baik individu maupun kelompok, sebagaimana pengertian self. Namun ketika situasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, akan banyak timbul masalah bahkan kekerasan. Karena adanya fragility dan responsibility dalam hubungan ini, maka harus ada dasar pengikat yang kuat, yaitu tanggung jawab bersama, sehingga tidak muncul kekerasan yang akan memporakporandakan perdamaian. Ketiga, in just institutions. Salah satu syarat adanya perdamaian adalah adanya keadilan. Jadi, institusi di sini harus diartikan secara luas, yaitu pranata atau struktur hidup bersama, yang legal, yang memiliki norma hidup bersama, dan aturan main yang fair sebagai sarana penciptaan dan pencapaian perdamaian. Jika tidak, maka sangat dimungkinkan pandangan ci vis pacem para bellum akan dimaknai sebagai pilihan yang harus diambil sehingga perdamaian hanya akan menjadi “dunia khayalan”. Namun yang diharapkan adalah terciptanya “perdamaian positif” , di mana tidak hanya sekadar ketiadaan kekerasan (perdamaian negatif), melainkan situasi kehidupan yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, persamaan, kebebasan, keterbukaan, toleransi, dan kebersamaan.
Akhirnya, dari pemikiran dua tokoh di atas, setidaknya dapat kita bayangkan dan kita nilai diri kita masing-masing (kira-kira) di mana posisi pemaknaan kita guna menjawab pertanyaan di atas. Mari renungkan, refleksikan, definisikan ulang, sepakati untuk meyakinkan diri bahwa kita sudah pada hakikat pertemanan, atau menolak dengan keyakinan bahwa itulah adanya.
Kegelisahan yang tak berujung-tepi, sendiri
Lihatlah,
Betapa ketidakadilan, kebohongan, kejahatan, berlari, kasat mata
Sementara kebenaran hanya mampu melata, bersembunyi
Dalam ruang sempit kesadaran yang picik
Sungguh bukanlah pertanyaan yang mengasyikkan untuk ditanyakan ataupun dijawab. Bisa iya dan bisa juga tidak, tergantung apa kebutuhan dan apa kepentingan atas pertanyaan tersebut. Dan jika pun hendak dijawab, maka akan sangat beragam jawaban dari banyak orang.
Adalah situasi dan kondisi kehidupan sosial saat ini yang mengharuskan kita untuk merenung sejenak kemudian merefleksikan kembali pertanyaan sederhana tersebut. Dan jika kita mau jujur, maka akan kelihatan bahwasanya makna pertemanan telah dieksploitasi dan dikebiri secara semena-mena. Pertemanan menjadi tak lebih sekedar formalitas berbagai kepentingan dalam sebuah hubungan antarmanusia. Inilah mengapa sejak awal, Aristoteles yang dikenal sebagai peletak pondasi pertama dalam bidang logika, telah mencermati masalah pertemanan ini, dan permasalahan ini dikupasnya secara rinci dalam salah satu karya agungnya, Nicomachean Etchics.
Jika dicermati, perhatian serius Aristoteles ini tentunya tak lepas dari pemikirannya yang bersifat teleologis (keterarahan pada tujuan/telos) dan merupakan suatu etika keutamaan (sikap moral). Dalam pandangannya, hidup merupakan suatu keutamaan perilaku yang dijalankan manusia bersangkutan dengan sadar serta bebas karena itu menyempurnakan dia sebagai manusia dan membuat dia mencapai tahap unggul di bidang moral. Dengan demikian, manusia bisa mencapai taraf yang disebutnya dengan eudaimonia (daimon: mempunyai jiwa, eu: dalam keadaan baik) atau kebahagiaan yang sebenarnya; well-being, obyektif, bukan happiness yang subyektif. Salah satu jalan untuk bisa mencapai taraf tersebut adalah melalui persahabatan karena persahabatan merupakan bagian dari hakikat manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada manusia lain. Jadi, untuk bisa hidup bersama secara harmonis masing-masing memiliki keinginan dan kepentingan untuk berteman.
Aristoteles sendiri memandang kecenderungan ini lebih sebagai sikap intelek daripada pertimbangan moral, karena baginya persahabatan merupakan suatu keutamaan atau paling sedikit berhubungan erat dengan keutamaan, apalagi sangat perlu untuk kehidupan seorang manusia. Karenanya, Aristoteles melihat bahwa pada dasarnya ada tiga alasan pokok mengapa dua orang atau lebih bisa berteman, di luar faktor adanya kesamaan, kemiripan, atau kesepadanan. Pertama, karena orang tersebut (yang dianggap sebagai teman) memiliki nilai guna atau bermanfaat (useful); kedua, karena orang tersebut menyenangkan (pleasant); dan ketiga, karena orang tersebut baik atau memiliki kebaikan dan berniat baik (good/goodwill).
Untuk yang pertama dan kedua, disebutnya cenderung bersifat sementara dan tidak awet. Pertemanan terjalin karena adanya pertimbangan “untung-rugi” sehingga ada peluang untuk mendapatkan sesuatu kepentingan, diri atau kelompok dari teman, baik materi maupun non-materi seperti perasaan senang dan gembira. Namun, ketika useful dan pleasant-nya tidak ada lagi pada diri teman, maka akan dengan mudahnya ikatan pertemanan terputus. Ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang”. Karena itu, dari ketiganya, Aristoteles menilai yang sebenar-benarnya “sejati” adalah yang ketiga karena di sana ada “hubungan mutualis” yang positif dan membangun antara dua atau lebih orang yang berteman. Masing-masing individu berusaha melakukan apapun yang terbaik demi kebaikan yang lain tanpa berharap pamrih, ibarat sepotong lilin yang terus memancarkan cahayanya sampai ia sendiri leleh terbakar api.
Jika dikaitkan dengan fenomena konflik yang banyak terjadi --dalam pengertian secara luas, pertentangan, pertikaian, perbedaan pendapat, peperangan, dsb., yang tidak hanya sebagai sesuatu yang mengandung kekerasan (meskipun unsur-unsur kekerasan inilah yang banyak mewarnai)-- setidaknya dapat tergambar bagi kita mengapa hal tersebut terus terjadi. Ketika masing-masing individu mampu saling memahami, saling menghormati, saling melengkapi kekurangan, dan saling menjaga agar apa yang ada pada diri teman (useful dan pleasant) tidak hilang, untuk kemudian bersama-sama berusaha mencapai ranah ketiga, yaitu kerelaan untuk saling berkorban demi kebaikan teman tanpa berharap balasan, maka perdamaian sebagai cita-cita bersama akan tercipta. Namun sebaliknya, ketika hal tersebut tidak mampu dipertahankan, akhirnya ego yang menjadi pemain utama, masing-masing individu lebih mementingkan diri sendiri dengan pertimbangan “untung-rugi”nya, sehingga perselisihan atau konflik (kekerasan) lah yang secara terang-terangan merobek-robek jaring perdamaian yang sebelumnya telah terajut.
Selanjutnya, Paul Ricour (dalam Oneself as Another), yang berangkat dari pemikiran Aristoteles juga, mengajak secara lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan “mengapa orang berteman?” Di sini Ricour menjelaskan melalui pandangannya tentang self yang menurutnya harus dilihat secara keseluruhan, karena self bukanlah kedirian yang egoistik (diriku atau dirimu), melainkan ada dalam potensi dan aktualitas manusia. Di sinilah pertemanan diperlukan sebagai perantara dari dualitas manusia tersebut, yakni potensi dan aktualitas. Karenanya, dengan tegas ia menentang pandangan cogito ergo sum-nya Kartezian, sebab dianggapnya terlalu kasar dan sepihak, hanya mencerminkan sebagian dari diri manusia. Berteman menurutnya bukan lagi keinginan melainkan ada (inherent) dalam diri manusia, karena antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak terpisahkan, “aku bukanlah aku pribadi, aku adalah kamu, kamu adalah dia, dan dia merupakan penjelmaanku juga”.
Sebagai filsuf Etika, Ricour memandang perdamaian sebagai sebuah proses yang harus dijalani dan diperjuangkan bersama. Ada tiga hal yang menjadi pokok pandangannya tersebut. Pertama, aiming at the good life. Situasi ini bertitik-tolak dalam kehidupan keseharian atau pengalaman hidup manusia (praksis). Living well atau true life ini bisa dikatakan mirip atau sama dengan good-nya Aristoteles.
Kedua, with and for others. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah “siapa saja others-nya, dan apa yang akan terjadi jika others tidak bisa menjalankan fungsinya?” Others di sini bisa siapa saja, baik individu maupun kelompok, sebagaimana pengertian self. Namun ketika situasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, akan banyak timbul masalah bahkan kekerasan. Karena adanya fragility dan responsibility dalam hubungan ini, maka harus ada dasar pengikat yang kuat, yaitu tanggung jawab bersama, sehingga tidak muncul kekerasan yang akan memporakporandakan perdamaian. Ketiga, in just institutions. Salah satu syarat adanya perdamaian adalah adanya keadilan. Jadi, institusi di sini harus diartikan secara luas, yaitu pranata atau struktur hidup bersama, yang legal, yang memiliki norma hidup bersama, dan aturan main yang fair sebagai sarana penciptaan dan pencapaian perdamaian. Jika tidak, maka sangat dimungkinkan pandangan ci vis pacem para bellum akan dimaknai sebagai pilihan yang harus diambil sehingga perdamaian hanya akan menjadi “dunia khayalan”. Namun yang diharapkan adalah terciptanya “perdamaian positif” , di mana tidak hanya sekadar ketiadaan kekerasan (perdamaian negatif), melainkan situasi kehidupan yang di dalamnya terdapat keadilan, kesejahteraan, persamaan, kebebasan, keterbukaan, toleransi, dan kebersamaan.
Akhirnya, dari pemikiran dua tokoh di atas, setidaknya dapat kita bayangkan dan kita nilai diri kita masing-masing (kira-kira) di mana posisi pemaknaan kita guna menjawab pertanyaan di atas. Mari renungkan, refleksikan, definisikan ulang, sepakati untuk meyakinkan diri bahwa kita sudah pada hakikat pertemanan, atau menolak dengan keyakinan bahwa itulah adanya.
Kegelisahan yang tak berujung-tepi, sendiri
Lihatlah,
Betapa ketidakadilan, kebohongan, kejahatan, berlari, kasat mata
Sementara kebenaran hanya mampu melata, bersembunyi
Dalam ruang sempit kesadaran yang picik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar